Sirine mobil berwarna putih meraung-raung. Jalanan pagi belum dipadati lalu lintas kendaraan. Tanpa rintangan berarti pengemudi melajukan mobil. Cuaca sedikit mendung, meski tanpa rintik menyerta tetapi cukup mewakili hati yang berduka. Siapapun tidak bisa menampik misteri kehidupan selanjutnya, yaitu kematian.
Ambulans diikuti sebuah mobil avanza maron. Seorang dara yang sepersekian detik mendapatkan kebahagian, menerima kenyaatan yang teramat mengejutkan. Sang bunda menghadap yang Kuasa.
Bu Ina meninggal karena perdarahan di otak. Beliau terjatuh di kamar mandi. Benturan di kepala yang menyebabkan perdarahan dan tidak tertolong jiwanya.
Inna lillahi wa inna illaihi rojiuun.
Entah tak terhitung berapa kali Zizi terus berdikir. Mengingat Asma Allah akan takdir yang harus dilakoninya. Mengumandangkan doa dalam hatinya, dan menyakinkan diri bahwa Allah sedang memberinya pelajaran hidup. Kesedihan yang kentara tidak membuat Zizi lepas kendali. Realita hidup yang dirasakan selama ini memberinya sikap tabah.
Zizi tidak menyangka bahwa semalam adalah pelukan terakhir bu Ina. Tatap harap seorang ibu yang mendambakan kebahagiaan putrinya masih lekat. Usapan lembut dan hangat begitu terasa di hatinya. Titik bening kembali mengalir meski tidak sederas subuh tadi. Ya, bunda menghadap Allah ketika Zizi membersamai kebahagiaannya bersama Ammar.
Tahmid yang duduk di belakang kemudi tidak tega melihat duka itu. Begitu cepat bahagia menepi di kehidupan Zizi. Tidak ada yang salah dalam takdir, begitu kata Zizi setiap kali merenungi hidup. Dan Tahmid paham betul apa yang sedang dirasakan Zizi saat ini.
Namun begitu tidak dapat dipungkiri, netra sendu adiknya menyimpan kedukaan yang mendalam. Tahmid berusaha membuat Zizi untuk kuat seperti belasan tahun yang lalu.
“Zi, mau pegang tangan abang?”
“Zi baik-baik saja Bang, tidak usah khawatir.”
“Alhamdulillah, abang yakin kamu bisa melewati semuanya. Aamiin.” Tahmid mengusap pelan pundak Zizi.
“Ada kabar dari Ammar?”
“Iya Bang, tadi telepon ibu juga harus di operasi.”
“Kalau itu abang tahu. Ada perkembangan lain nggak.”
“Belum tahu Bang, Zi belum buka hp dari tadi.”
“Zi, kamu yang kuat dan tabah ya! Abang yakin kamu bisa melewatinya. Doa yang terbaik untuk tante dan ibunya Ammar. Semoga operasinya lancar. Abang tidak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi.” Tahmid tidak henti memberi semangat.
“Insyaa Allah Bang, doa abang yang menguatan Zi. Mungkin Zi memang belum layak mendapat kata bahagia. Perjalanannya berliku dan mendaki, entah sampai kapan.”
“Allah telah memilihmu untuk menapaki jalan itu. Berarti kamu akan sanggup untuk melaluinya. Bukankah begitu, Zi?”
“Iya Bang benar, terima kasih untuk semuanya. Zi tidak bisa menjalaninya kalau sendiri. Eh, hp Abang bunyi ya, ini Zi ambilkan.”
“Siapa?”
“Mas Ammar, mungkin telepon Zi nggak bisa.”
“Angkat saja Zi!”
“Ya, hallo assalamualaikum Mas.” Suara serak Zizi menyapa sang suami.
“Walaikumussalam, Dik, di mana?” Nada khawatir jelas terdengar.
“Masih di jalan, kurang sebentar sampai rumah. Ibu gimana Mas?”
“Ibu sudah masuk ruang operasi. Mas di sini sama beberapa saudara. Dik, kamu baik-baik saja, kan? Mas tidak tenang di sini. Maaf, tidak bisa menemanimu. Ini menunggu ayah ke rumah sakit. Insyaa Allah nanti mas nyusul ke Klaten.” Suara Ammar tidak kalah parau. Laki-laki itu kurang istirahat.
“Zi baik-baik saja Mas, ini abang nemani juga. Silahkan diselesaikan dulu urusan ibu. Semua bisa memahami kondisi Mas, kita ikut mendoakan operasi ibu agar lancar. Aamiin.”
“Perasaan Mas tidak karuan Dik.”
“Kenapa Mas?”
“Kok kenapa? Masya Allah istri satu ini belum paham juga.” Gerutu Ammar keki.
“Mas, kita harus sabar yang sesabar-sabarnya. Kalau Mas tidak tenang siapa yang menenangkan istri Mas ini?”
“Ah, inilah yang Mas tunggu. Istri yang juga bisa menenangkan hati suami.”
“Aamiin, mau bicara sama abang nggak?”
“Enggak, cukup dulu. Nitip pesan saja, ayah ke klaten setelah kondisi ibu memungkinkan Dik, terima kasih. Assalamualaikum.” Ammar mengakhiri pembicaraan. Tahmid tak sabar mendengar berita dari rumah sakit.
“Zi, apa kata Ammar?”
“Ibu sudah masuk ruang operasi. Mas Ammar nanti ke Klaten tapi belum jelas jam berapa Bang. Ayah juga nunggu kondisi ibu. Dia khawatir banget tadi.”
“Wajarlah Zi, dia sekarang suamimu. Disaat seperti ini sudah semestinya dia ingin di dekatmu. Bersyukur adik abang ini kuat, malah bisa menguatkan suami.”
“Semua berkat abang. Zi tidak akan lupa itu.” Tahmid tersenyum tipis, perkataan Zi bukan hanya sekali ini diucapnya.
Zizi bersiap turun dan bergabung dengan keluarga ayahnya di dalam. Hatinya menahan kepiluan melihat persiapan untuk hari H nya besok. Sungguh pemandangan yang kontras. Jenazah sang ibu disemayamkan di rumah yang berhias bunga kebahagiaan. Tak kuasa Zizi menggigit bibir bawahnya dan menahan agar mendung yang masih mengantung tidak luruh.
“Zi, ayo turun. Pegang tangan abang kalau kamu butuh.”
“Iya Bang, Zi hanya berpikir bunda masuk rumah ini dengan hiasan yang indah dalam keadaan seperti ini.” Ah, beberapa tetes butiran itu jatuh.
“Sini! usap air matamu Zi. Kasihan bunda kalau kamu terus bersedih. Ingat doakan agar bunda mendapat tempat di sisi Allah. Itu yang terpenting.”
Zizi menghela napas, mencoba memberi oksigen yang akan memenuhi energinya. Hari ini akhir kehidupan bunda di dunia. Kini tugasnya sebagai anak hanya satu, mendoakan yang terbaik untuk bunda agar dilapangkan kuburnya.
*
Selepas prosesi pemakaman, Zizi meminta izin budenya untuk ke kamar. Tubuhnya terasa seperti memikul beban berkilo-kilo. Sakit, lelah dan capek yang menumpuk-numpuk. Rebahan di ranjang sedikit membantu menghilangkan penat. Maksud hati mau membuka ponsel, tetapi mata tidak bisa diajak untuk kompromi. Zizi tertidur sembari memegang benda bersarung hitam itu.
Zizi benar-benar terlelap. Kehadiran seseorang yang mengkhawatirkannya tidak juga membuat terjaga. Kerinduan Ammar lekat dengan menatap wajah Zizi. Tak terasa pipi Ammar basah, ketika tangan dinginnya mengusap pipi sayu Zizi. Guratan kesedihan begitu membekas.
Tangan Zizi meraih dan mengenggam erat tangan Ammar, dengan mata yang masih terpejam. Ammar tidak bisa menahan isakannya. Zizi membawa tangan itu persis seperti semalam. Mencari rasa aman dari rasa takut dan gelisah.
Kecupan hangat penuh kasih mendarat di kening sang istri. Sedikit memberi rasa tenang di hati Ammar. Dia baru mau memulai untuk membuat Zizi bahagia. Takdir membawa Zizi pada kesedihan kembali.
“Mas Ammar?” bisik Zizi dengan mata mengerjap.
“Tidurlah lagi, mas akan jaga kamu. Maaf baru bisa menemani sekarang.”
“Iya, kenapa pipi Mas basah?” Zizi mulai membuka mata sepenuhnya. Dicobanya untuk bangkit dan duduk ketika tangan kokoh itu membawanya dalam pelukkan.
“Mas nggak kenapa-napa. Bahagia lihat Zi baik-baik saja. Terima kasih membuat mas bisa lebih kuat menghadapi semuanya.”
“I iya, sama-sama. Tapi tolong jangan kaya gini Zi susah bernapas.” Pelukan itu menguar dan sudut bibir Ammar tertarik ke atas.
“Dipeluk suami nggak mau.”
“Mas sih kenceng banget meluknya! Kabar ibu gimana?” Zizi mengahadap lurus ke arah Ammar.
“Alhamdulillah, operasinya lancar. Usus buntunya diangkat, sebenarnya ibu sudah merasa sejak kemarin. Tetapi di tahannya, dikira masuk angin biasa.”
“Alhamdulillah, syukurlah.” Zizi berubah menunduk, tangannya masih berpaut.
“Zi, kenapa?”
“Allah sungguh Maha Adil Mas, ketika bunda dipanggil Zi diberinya ganti seorang ibu. Semoga nanti bisa berbakti menjadi anak yang baik.”
“Dan istri yang terbaik untuk Ammar, aamiin.” Zizi merenggut tanpa suara. Hatinya membalas mewakili kalimat Ammar.
“Besok ibu tidak bisa datang, karena harus menginap dulu semalam. Yah, kita tidak ada yang tahu teka teki Allah. Justru ibu yang tidak bisa menghadiri acara besok. Dik, maafkan ibu ya?”
“Mas Ammar, ibu tidak salah apa-apa. Ibu akan bangga kalau Mas tetap menjadi mas yang dulu meski sudah menikah. Selalu ada ketika ibu butuhkan.”
“Terima kasih ya Allah, Engkau turunkan istri berhati mulia ini.” Rona kemerahan tidak bisa Zizi sembunyikan. Tangan Zizi mengambil kerudung di atas meja dekat ranjang.
“Lho, Zi dari tadi nggak pakai jilbab ya, Mas?” Katanya panik dengan mimik lucu.
“Ini suamimu Zi, sini mas pakaikan. Setelah itu keluar kamar dan makan. Kata Tahmid dan bude sedari tadi perutmu kosong. Mas nggak mau pas acara kamu pingsan.”
Zizi seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut dan menurut. Ya, memang harus demikian adanya. Hatinya kembali bangkit dengan hadirnya Ammar. Sungguh, Allah memberi pengganti cahaya di hidupnya. Dia kini menyerahkan sepenuh jiwanya untuk seorang Ammar.
Bayangan ibu Asma di pelupuk mata. Zizi berdoa agar bisa menjadi menantu yang baik meski dia belum tahu apa yang akan dilakukan bila bertemu bu Asma. (BERSAMBUNG)
*
[16/1 15:53] Supriyono: #WS_Lestari
#KABUT_DISENYUM_HAZIMA
Bag. 10 #Cerita_Pengantin
Tangan kedua insan itu berpaut. Sebagaimana hati dan jiwa yang telah diikrarkan. Zizi sungguh luar biasa, ketulusannya terpancar pada kecantikan wajahnya. Riasan yang tidak mencolok tetap membuat wajah Zizi bersinar. Mendung yang kemarin menguncang hidupnya, perlahan tersapu oleh genggam erat Ammar.
Senyum yang menghias di bibir pengantin memberi rasa haru. Tidak sedikit para tamu yang menitikkan air mata. Dukungan berupa pelukan dan doa menyerta untuk mempelai yang sedang berduka itu. Inilah realita hidup, bahwa manusia hanya makhuk yang sekedar menjalani titah Sang Penguasa Semesta. Bunda Zizi meninggal dunia dan ibu Asma harus dirawat karena usus buntu yang dideritanya.
Lepas dhuhur acara walimahan berakhir. Hanya beberapa tamu undangan yang terlihat, selain kerabat keluarga pak Ilham ada teman-teman Ammar yang memberi selamat.
“Bro, nemu bidadari di mana, aku nggak nyangka kamu pintar juga cari istri.” Deni teman kuliah yang juga asli Jogja serius menyelidik.
“Memang barang? Nemu. Enak saja, yang jelas kita sudah berjodoh sejak kecil.”
“Kamu pacaran sejak kecil?”
“Siapa yang bilang pacaran?” Ammar mengarahkan tinjunya ke Deni.
“Berdoa sama Allah mohon petunjuk agar diberi jodoh yang terbaik.”
“Itu mah tahu Mar, berdoa tanpa ihktiar mana ada hasilnya.”
“Nah, itu tahu. Deni, Deni kita nunggu undanganmu lho, iya kan Raf?” pemilik nama Rafi mengiyakan dan berniat pamit. Sang istri mulai terlihat lelah, maklum sedang berbadan dua dan mendekati kelahiran.
“Mar, semoga lekas nyusul istriku. Biar tambah seru kalau ngumpul.”
“Aamiin, terima kasih Bro. Sebentar aku panggil Zizi dulu.”
Lambaian tangan Ammar dan Zizi melepas kepergian Rafi dan istrinya. Deni yang masih setia menunggu jodoh, ikut permisi meninggalkan Ammar yang mengantar sampai halaman. Zizi berjalan mendahului Ammar, tepat saat Ammar menarik tangannya dan berbisik.
“Tadi didoakan Rafi cepat nyusul istrinya, di aamiini yang!” Reaksi Zizi membuat Ammar mengaduh. Dicubitnya pinggang suami dengan mata melebar.
“Sakit Dik, awas ya nanti malam.”Ammar meringis senang bercampur senang.
“Mas, apa sih? Sebaiknya kita bersiap ke rumah sakit. Ibu pasti sudah nunggu.”
“Iya nyonya Ammar, siap mengantar.” Zizi terus berjalan dengan senyum yang tertahan. Dia tahu Ammar ingin menghiburnya.
Berangsur rumah pakde kembali seperti semula. Ayah Zizi sore ini juga bertolak ke Lahat. Pengantin baru itu bersiap ke rumah sakit. Nanti malam bu Asma diizinkan pulang.
Zizi sudah rapi dengan gamis hijau dengan jilbab hijau tua, penampilannya serasi dan syari. Beberapa saat dia mematut di cermin.
Ternyata Ammar juga suka warna hijau. Laki-laki yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Zizi, kini berdiri tepat di belakang Zizi. Tangan itu memberikan rasa hangat dengan melingkarkan ke pinggang istrinya. Zizi menyambut dengan memegang erat tangan kokoh itu.
“Sebentar seperti ini Dik! Mas merasa tenang dan nyaman."
“Iya Mas, terima kasih untuk semuanya.”
“Mas belum melakukan apapun untukmu.”
“Sudah dan banyak, bukankah dengan mengingatkan kebaikan suami akan menguatkan ikatan ini? Zi, tahu kita punya kelemahan, karena tidak ada manusia yang sempurna selain Rasullullah. Tugas kita untuk saling melengkapi dan menguatkan. Mas setuju bukan?”
“Sangat setuju, ayo bersiap untuk tugas selanjutnya!” lirih suara Ammar. Zizi berbalik menatap Ammar dengan alis hampir bertaut.
“Mas, kita mau ke rumah sakit, jangan macam-macam!”
“Iya, tugas merawat mertua Dik, sensitif banget. Ini mas kasih balasan cubitan tadi.” Sigap Ammar menarik tubuh Zizi dalam rengkuhnya.
Ah, aliran listrik itu menyusup membuat Ammar bergeming sesaat. Helaan napasnya mulai menyebar ke tengkuk Zizi. Kecupan di puncak kepala mengakhiri sentuhan hangat Ammar. Zizi hanya memejamkan mata dan memberi ruang Ammar untuk membahagiakannya.
“Ayo berangkat Mas! Keburu magrib nanti.” Zizi mengurai dekapan Ammar.
“Iya, kita berangkat!”
Perpisahan sementara dengan keluarga Tahmid tak urung menyisakan air mata. Bude memeluk keponakannya dan memberi nasehat kepada Ammar. Keduanya duduk berhadapan dengan pakde dan bude di ruang tamu. Tidak ketinggalan Tahmid juga ikut mendengarkan wejangan orang tuanya.
“Nak, bude nitip Zi. Tolong jaga dia dengan bak. Hari ini kamulah miliknya, dan Zi jadilah istri yang shalihat untuk suamimu. Menikah berarti siap mendapat masalah. Keyakinan sama Rabbul alamin akan memudahkan semuanya. Bude mendoakan kalian.”
“Aamiin, insya Allah bude. Mohon doa restunya.” Kemudian pakde yang berbicara.
“Ammar, pemimpin yang baik itu bukan mencari menang atau tidak mau kalah. Kalian bukan sedang bertarung, tetapi sedang berjuang bersama-sama. Jika ada yang terkena api salah satunya harus menjadi air. Paham maksud pakde, kan?”
“Iya Pakde, insyaa Allah. Mohon dibimbing dan ditegur bila saya tidak amanah.”
“Orang tua tetap orang tua, bisanya memberi masukkan. Semua kembali pada kalian.” Tegas pakde dengan nada kalem.
“Pakde, bude Zi hanya bisa mengucapkan terima kasih. Meski itu tidak cukup untuk menebus semua kebaikan keluarga ini. Zi sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan membesarkan Zi. Maafkan kehkilafan yang Zi lakukan,” suara Zizi semakin berat. Ammar melihat sudut mata istrinya yang basah.
“Zi, bude bersyukur. Semua karena kesungguhan dan keihklsanmu. Bude juga minta maaf ya. Terkadang keterlaluan padamu.”
“Tidak bude, Zi tahu kalau bude sayang sama Zi.”
“Sama abang Zi?” Tahmid ikut nimbrung
“Abang ? kenapa tanyanya gitu. Zi khusus berdoa untuk jodoh Abang.”
“Nanti pakde kabari Zi, alhamdulillah sinyalnya sudah kuat ini.”
“Oh ya? Ih Abang curang, Zizi nggak dibilangi.” Spontan Zizi mendekati duduk Ammar dan menabok pundak Ammar.
“Aduh, sakit Zi.”
“Biarin, Abang nggak cerita sama Zi. Siapa gadis itu? Abang yakin memilih dia, salihah kan, orangnya?” Zizi seperti biasa tidak sabar dengan pertanyaan borongan.
“Zi, dilihat suamimu itu! Ini anak kelakuannya nggak berubah. Nanti malam nggak ditemani sama Ammar.”
“Abang! Awas ya.” Zizi tersipu kembali memukul Tahmid dan beranjak dengan bibir mengerucut lucu.
Ammar melepas senyum melihat tingkah Zizi yang manja pada Tahmid. Rasa tanggung jawab yang besar membuatnya yakin menapaki jalan bersama Zizi.
Tangan itu meminta restu dan membawa Zizi untuk mengarungi bahtera. Kehidupan yang akan dibangun dengan cinta, kasih dan sayang. Mencintai karena Allah, dan mengabdi sebagai hamba yang diridhai dalam iman.
*
Malming alias malam minggu berdampak pada padatnya lalu lintas. Mobil berjalan padat merayap hampir di sepanjang jalan.
Entah dari mana sugesti malam minggu adalah malam yang panjang. Menciptakan suasana yang dinanti para pencari cinta atau yang tengah di mabuk cinta. Cuaca yang kemarin mendung telah sirna. Pertanda baik untuk menyusuri geliat malam yang panjang.
Ammar berulang kali harus menekan rem, agar bisa menjaga jarak dengan mobil di depannya. Zizi mulai terlihat gelisah. Matanya beralih menatap layar hp sebentar, banyak ucapan selamat dari pelanggan dan teman kuliah.
Termasuk beberapa pria yang pernah ingin mengkhitbahnya. Bibirnya tersenyum ketika membaca salah satu pesan dari pria itu.
“Bahaya nih,” celutuk Ammar tanpa menoleh.
“Apa yang bahaya Mas?”
“Itu barusan senyum sendiri.”
“Oh, ini teman kirim ucapan selamat. Bikin Zi ketawa.”
“Teman apa teman?” Ammar tetap menatap lurus.
“Memang kenapa? Pertanyaannya aneh gitu. Ini si Khalid, teman komunitas menulis di kampus Mas. Masa dia nulis ‘Zi, awas lho siap-siap aku culik! Aku patah hati’ kurang kerjaan ini anak.”
“Dulu dia naksir sama kamu, Dik?”
“Dia itu norak orangnya, bukan hanya naksir. Tingkahnya bikin Zi malu.”
“Ngapain dia?” Ammar semakin tertarik.
“Bener nggak papa Zi cerita?” Ammar mengangguk yakin.
“Di depan sekretariat dia bilang cinta sambil jongkok baca puisi. Isi puisinya memang romantis dan bikin meleleh sekaligus menyebalkan!”
“Sebal atau sebal banget?”
“Sebal ya Mas, teman-teman pada bersorak. Mereka meminta Zi menerima Khalid. Memang Zi apaan. Waktu itu langsung saja Zi pergi dan nggak mau bicara sama anaknya.”
“Wah ... nggak nyangka ya, istri mas banyak fansnya juga.”
“Ngeledek? Bukannya Mas yang dikejar-kejar banyak cewek. Itu siapa namanya emm ... mbak Maya. Teman SMA Mas yang pintar matematika dan menyanyi.”
“Masih ingat? Jangan-jangan waktu itu kamu cemburu sama Maya.”
“Sorry ya, tidak ada kamus cemburu dalam diri Zi.”
“Beneran nih?” Ammar tambah semangat menggoda.
“Terserah Mas kalau nggak percaya.” Zizi terlihat jutek dan memandang ke luar jendela mobil.
“Mana tanganmu Dik!”
“Tangan?”
“Iya, mana sini!” dengan tidak mengurangi konsentrasinya Ammar mengenggam tangan Zizi. Diambilnya dan dikecup lama.
“Mas suka kalau kamu cemburu. Tetapi cemburu yang berbeda.”
“Maksudnya?”
“Pernah baca kisah istri Nabi atau para sahabat?”
“Pernah, kisah yang mana Mas?”
“Kisah seorang istri yang menyambut suaminya dengan hangat sewaktu pulang jihad. Padahal putra mereka baru saja meninggal dunia. Sang suami sempat bertanya apa yang terjadi dengan putranya. Istrinya menjawab dengan senyum bahwa anak mereka sedang tertidur pulas. Apa yang terjadi kemudian? Mereka berhubungan suami istri, dan tidak lupa berdoa agar ibadah itu diberkahi Allah. Istri melayani dengan sebaik-baiknya hingga suaminya merasa bahagia. Dik, tahu nggak kelanjutannya?” tanya Ammar menatap mesra Zizi sekilas.
“Allah mengganti putra yang meninggal dengan seorang putra buah cinta mereka siang itu. Bahkan putranya itu menjadi seorang penghafal Al Qur’an, yang kelak mengangkat derajat orang tuanya di surga. Benar, kan Mas?”
“Alhamdulillah, seratus untuk istri mas. Nih hadiahnya.” Kecupan lembut di tangan mungil itu hampir tanpa jeda. Zizi sampai merasakan desakan di dadanya yang berdebar hebat.
"Zi, kira-kira bisa nggak kaya sahabat tadi?"
"Insyaa Allah, yang penting berusaha."
"Aamiin."
“Dik, tahu nggak cerita Khansa, seorang penyair dan ibunda para syuhada?”
“Tahulah Mas, beliau dinobatkan sebagai seorang penyair paling mahir di tanah Arab. Setelah masuk islam ia berkata, 'dulu aku menangisi kehidupanku, namun sekarang aku menangis karena takut akan siksa api neraka' itu yang Zi tahu.”
“Wow, sampai ucapan beliaupun kamu hafal. Atau jangan-jangan kamu mengidolakannya?” Ammar merasa takjub dengan ingatan Zizi.
“Dulu waktu di pondok ada pelajaran shiroh Mas. Tokoh syahidah ini seakan memberi cahaya di hati. Al Khansa berubah total setelah masuk islam. Ujian yang dialaminya menjadi kesabaran yang didasari iman dan dihiasi oleh ketakwaan. Hingga tidak merasa sedih ketika kehilangan apa pun dari kenikmatan di dunia ini. Maaf Mas.”
Ammar melepas gengamannya, ketika Zizi menarik tangan itu agak paksa. Tangan Zizi beralih ke pipi yang tanpa diketahui Ammar sudah bersimbah tetesan air mata.
“Zi, sering begini kalau mengingat kisah Al Khansa.”
“Maafin Mas kalau bikin Zi sedih.” Ammar merasa menyesal melihat Zizi bersedih.
“Enggak pa pa Mas, justru membuat Zi sadar. Kalau apa yang Allah berikan ke Zi sangat jauh dari ketulusan dan pengorbanan. Beliau contoh yang luar biasa merelakan dengan ikhlas keempat putranya untuk syahid.”
Ammar tiada henti bersyukur mendengar penuturan Zizi. Hatinya ikut tersentuh dengan tenggorokan yang tercekat. Diusapnya pipi Zizi dengan lembut. Dengan penuh kasih Zizi menyambut usapan itu dan menyatukan jemarinya.
“Terima kasih, Mas juga suka dengan bacaan yang seperti tadi. Btw sejak kapan Mas suka shiroh shahabiyah?” Zizi menoleh ke arah Ammar yang pura-pura cuek.
“Apa tadi? Oh itu rahasia dong.”
“Mas Ammar suka gitu ya, kalau Zi serius.” Derai tawa Ammar menambah gemas Zizi dan sebuah pukulan mendarat di lengan kiri Ammar.
“Auw, hei sudah berani pukul suami ya. Tunggu balasan Mas nanti malam.”
“Balas saja, Zi nggak takut.”
“Ya memang nggak boleh takut. Kalau istri takut suami nggak ada itu keturunan anak adam di dunia sebanyak ini.”
“Mas Ammar!” Zizi tidak peduli Ammar yang sedang mengemudi.
Tangan itu mendarat lagi di lengan Ammar berkali-kali, hingga Ammr mengunci dengan memegang tangannya kencang. Seketika tubuh Zizi terjatuh mengenai Ammar. Ah, detak jantung keduanya berdegup saling menyahut.
Zizi seperti dalam mimpi ketika Ammar berusaha meraih puncak kepalanya. Hanya usapan lembut tangan Ammar yang dirasai.
“Dik kalau ngantuk sandaran saja di lengan Mas sini.”
“Boleh?” Zizi membetulkan posisi duduknya, getar dihatinya dibiarkan mengembara.
“Lebih dari boleh. Lengan ini hanya kamu yang berhak bersandar.”
Jawaban Ammar bagai musafir yang mendapakan air karena dahaga. Zizi musafir yang telah menemukan ruang berteduh.
Perlahan Zizi melepas lelahnya di pundak Ammar. Seperti hari-hari lalu, hangat dan nyaman. Dengan memejamkan mata dan mendengarkan suara hatinya yang berhias wajah Ammar. Sesekali tangan kokoh itu mengusap pipi yang ikut menghangat.
Ammar mengemudi tanpa suara lagi. Seperti istrinya, dia juga menghadirkan sosok Zizi menjelma di hati dan sanubarinya.
(BERSAMBUNG)
Minggu, 21 November 2021
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 9
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 8
Jalanan lenggang, bahkan terbilang sepi. Beberapa anak muda menikmati angin malam dengan ditemani jahe anget atau kopi. Warung hik, atau angkringan di kota ini populer sampai larut. Mobil silver yang membawa pasangan baru itu melewati lampu merah Maguwo dan bersiap meluncur ke arah Janti.
“Dari roman-romannya pengantin baru ya boss?” tanya sopir ramah.
“Bapak tahu saja,” Ammar diplomatis.
“Kalau iya bapak doain samawa deh.”
“Apa itu samawa Pak?” Tanya Ammar diikuti ekor matanya ke arah Zizi. Gadis manis itu beberapa kali menguap sambil menatap ke luar jendela.
“Si boss pura-pura nggak tahu, itu sakinah mawwadah wa rahman.”
“Aamiin, gitu pak jelas. Terima kasih, ya. Alhamdulillah sudah sampai.” Ammar tersenyum lega, tidak akan mendapat pertanyaan pak sopir lagi. Beberapa rupiah diberikan ke pak sopir.
“Kebanyakan boss.”
“Buat tambah-tambah Pak, barokahnya menikah.” Pak Sopir dengan senyum khasnya turun, sengaja membukakan pintu untuk
Ammar.
“Sukses boss!”
“Terima kasih Pak.” Ammar melangkah dan menggandeng tangan Zizi. Si pemilik tangan terkejut tidak mengira dengan sikap Ammar tetapi tidak menolak.
*
Kamar penginapan itu tidak terlalu luas. Entah ini kamar kelas apa, atau berapa. Ammar sendiri tidak memperjelas. Ada dua tempat tidur, atas dan bawah yang kelihatannya sama-sama nyaman. Lampu tidur yang menggantung siap menemani penghuni kamar terlelap dalam mimpi. Ah, menghempas badan capek dan mengantuk pasti nikmat seperti di surga.
Zizi duduk di kursi pojok kamar. Dia memperhatikan Ammar yang merapikan tempat tidur. Di kepala Zizi adanya hanya menyelonjorkan kaki, memeluk guling dan tidur! Apalagi ini hari yang menguras hati dan pikirannya. Lelah yang teramat, mata merem tidak bisa dikompromi lagi.
Ammar mendekati duduk istrinya yang hampir terlelap di kursi. Rasa bahagia yang membuncah begitu jelas di mata tajam itu. Debaran yang lama menemani semakin menguat. Sosok yang dulu rapuh dan tak berdaya kini dekat dan halal untuk disentuh.
Dengan sigap diangkatnya tubuh Zizi yang mulai lemas. Mata teduh itu terbuka sedikit, tak kuasa menolak tangan kokoh Ammar yang menggendongnnya dalam dekap. Aliran hangat yang menenangkan membuat Ammar gemas melihat Zizi yang terkulai.
“Kak, Zizi ngantuk banget.” Hanya kalimat itu yang didengar Ammar sebelum akhirnya Zizi benar-benar menutup mata.
Gerakan reflek Zizi sempat membuat hati Ammar melonjak. Diraihnya tangan Ammar dan dipegang kuat kemudian dibawa ke alam mimpi. Hal yang sama yang dulu dilakukan Zizi bila tidak bisa tidur. Mencari pegangan untuk mengusir rasa takutnya.
Ah, ternyata Zizi masih memperlakukanku sebagai kak Ammarnya yang dulu. Batin Ammar. Bawah sadarnya belum memberi sinyal jika laki-laki yang menunggu sekian belas tahun adalah sang suami. Ammar menghela napas, pasti tidak mudah bagi Zizi menerima hati laki-laki lain yang mendambakan dirinya.
Perlahan pegangan tangan itu terlepas. Ammar meraih kembali dan mendekatkan ke wajahnya. Tidak akan disia-siakan keindahan yang meluruhkan jiwa seorang Ammar. Dengan mengamati setiap sudut ciptaan Allah yang sempurna itu. Zizi yang ringkih telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan kuat. Walau sorot mata teduhnya menyimpan kabut yang tidak bisa disembunyikan.
Dikecupnya tangan Zizi dengan penuh kelembutan. Kemudin beralih ke kening dan pipinya. Seperti boneka hidup Zizi tidak bergerak sedikitpun. Tangan penuh kasih itu mengusap pipi Zizi perlahan. Kembali rasa hangat menjalar, yang mendesaknya untuk melakukan petualangan yang membahagiakan. Ammar mencoba menyentuh bibir Zizi. Ketika si pemiliknya membuka mata. Hembusan napas Ammar membuat Zizi merasa ada yang aneh dalam nyenyak tidurnya.
Seperti mendapat kekuatan lain, Zizi bangun dan mendorong tubuh Ammar. Wajahnya menunjukkan kebingungan dan keheranan. Ammar yang terdorong beberapa jengkal menahan tawa dan gemas yang bergulir.
“Kak Ammar mau ngapain tadi? Kok nggak tidur di situ!”
“Zi, tolong kakak jatuh nih.”
“Ogah, nggak mau. Kakak tadi pegang-pegang ya?” Zizi mengerutkan keningnya, jilbabnya yang agak berantakan segera dirapikan.
“Kalau iya kenapa?” posisi Ammar kembali di samping tempat tidur.
“Kakak, Zizi kan malu.”
“Malu? Malu sama siapa? Di kamar ini hanya ada kita dan malaikat. Kamu tahu, kan? Malaikat siap mencatat amal shaleh pengantin baru.” Goda Ammar tepat di telinga Zizi.
Kedua pipi tanpa polesan bedak itu berubah berwarna. Tersipu dan sibuk menentramkan getaran karena tatapan hangat Ammar. Mata coklatnya membulat karena tangan Ammar mulai bergerilya kembali.
“Kakak ...”
“Hemm? Kakak hanya ingin pastikan kalau kakak tidak bermimpi. Memilikimu adalah mimpi panjang Zi. Sampai detik ini rasanya belum percaya kalau kakak bisa sedekat ini dan menyentuh lembut pipimu.”
Zizi menunduk, tidak ada yang terucap dari bibirnya. Tatapan Ammar membuatnya tidak kuasa berbalik menatap. Sesuatu mulai menyusup tanpa diminta. Belum pernah Zizi merasakan degup jantung dan hatinya bergetar dalam satu napas.
Ammar yang di depannya bukan Ammar yang dulu. Dia kini adalah laki-laki pelindungnya yang sejati. Merengkuh dengan cinta yang menguatkan kelemahan jiwa. Menumbuhkan rindu yang menjadi pengikat untuk berpadu. Ammar belahan jiwanya, sebuah untaian yang menyejukkan.
“Zi, kakak mau meminta sesuatu darimu.”
“Kakak, please Zizi belum siap.” Wajah itu berubah menegang.
“Hei, dengar dulu. Kakak mengajak shalat sunah berjamaah. Zizi ketakutan gitu.”
“Oh ... Iya, iya Zi mau sekarang wudhu dulu kalau gitu.” Ammar mengiyakan dengan senyum simpul. Seorang perempuan memang sensitif untuk urusan yang satu itu.
Hamparan karpet di ruangan itu menandai dua insan bersujud. Bersyukur pada yang Kuasa atas nikmat rezeki dan kemurahan-Nya. Ammar mengakhiri dengan salam dan berdoa.
Zizi mengamini ketika doa itu ditiupkan ke ubun-ubunnya. Dan sebuah kecupan pelan di pucuk kepala Zizi menambah afdhol ibadah mereka. Zizi menatap lurus bergeming. Rasa haru dan bahagia bercampur dalam debaran indah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
“Zi, angkat wajahmu!” pinta Ammar yang kini menggenggam dua tangan Zizi.
“Nah, sini kakak bantu merapikan mukenanya. Subhanallah, kamu cantik Zi apalagi kalau tersenyum. Berikan senyum manismu! yang membuat hati kakak tidak berhenti merinduimu. Senyum itu akan mennghilangkan lelah dan penat. Memberi semangat untuk terus menatap ke depan bersama-sama.”
Zizi benar-benar tidak berkutik. Tidak ada kata penolakan atas permintaan suaminya. Kak Ammarnya menyimpan kalimat indah yang mengunci hati tanpa jeda. Pipi kemerahnnya tidak bisa disembunyikan lagi. Bibir tipis itu menyunging senyum dengan rona yang menggemaskan.
Ammar menangkupnya dan memberikan rasa nyaman yang mendebarkan. Kecupan yang lama di pipi lembut Zizi.
Tangan yang dulu memberi rasa aman itu, kembali menahan dagu yang hendak tertunduk. Ammar tidak membiarkan sedetikpun pandangannya beralih. Ditatap lekat manik coklat yang berembun. Zizi membiarkan usapan ke sudut matanya.
“Kenapa Zi?” tanya Ammar lembut. Tidak ada jawaban dari gadis berbalut jilbab biru itu.
“Apa kamu ketakutan.” Zizi menggeleng, embun itu meluruhkan butiran bening.
“Zi, boleh kakak peluk?”
“Kak? Apa Kak Ammar bahagia?”
“Tentu, berdekatan denganmu seperti ini adalah mimpi kakak.” Ammar kembali mengusap butiran di pipi Zizi.
“Kak Ammar tidak akan meninggalkan Zizi?”
“Apa Zi meragukan Kakak?”
“Ibu belum tahu kita menikah. Bagaimana jika beliau tidak berkenan.” Zizi ingat perkataan bu Asma bahwa Ammar anak yang taat pada orang tuanya.
“Bukankah tadi kamu dengar perkataan ayah? Beliau yang akan menggurusnya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.”
“Ibu pasti akan kecewa kalau sampai tahu ya, Kak?” Ammar menempelkan telunjuknya di bibir Zizi.
“Sstt, sudah jangan dilanjutkan! Sini lihat kak Ammar.”
“Apa an sih? Zi malu.” Zizi menutup mukanya menyadari hembusan napas Ammar yang begitu dekat.
“Zizi, Zizi sini sembunyi kalau malu!” rengkuhan Ammar membuat Zizi terkejut tetapi tidak bisa menghindar.
Dengan mata terpejam Zizi berusaha menghadirkan sosok Ammar sebagai belahan jiwanya. Usapan lembut di punggung meyakinkan Zizi. Hari ini dia tidak berjalan sendiri. Langkahnya menapaki kehidupan ditemani laki-laki yang penyayang ini.
Diberanikannya menyambut gerakan Ammar yang mengeratkan tubuhnya. Untuk sesaat dua jiwa itu berpadu memberi rasa hangat dan tenteram. Pelukan Zizi menguar irama jantungnya mulai berdamai.
“Kak, sudah masuk waktu sepertiga terakhir. Gimana kalau kita shalat dulu?”
“Iya, kakak setuju. Kamu ambil wudhu dulu, ya!” Zizi segera beranjak tanpa bertanya lagi. Tangan Ammar kembali menahan lengannya.
“Kakak, ada apa lagi?”
“Ada yang ketinggalan.”
“Ketinggalan, apa?”
“Ini yang ketinggalan.” Dan cup sebuah kecupan dihadiahkan untuk Zizi. Pipi itu kembali bersemu merah.
“Kak Ammar! Ih ... sebal.”
Tingkah Zizi membuat Ammar tidak bisa menahan tawa. Dipandanginya tubuh Zizi yang menghilang ke kamar mandi. Ammar mengela napas lega, ada doa yang menyerta di hatinya.
Disandarkan kepala dan mata yang mulai meminta haknya. Rasa kantuk tidak bisa ditahan lagi. Dan Ammar benar-benar tertidur.
*
Zizi menyusuri pinggir pantai. Matanya nanar mencari sosok yang dirindukan. Ammar menghilang dalam hitungan yang tidak jelas. Zizi mulai putus asa, jantungnya berdegup semakin kencang.
Dalam tangis dia terus berteriak memanggil Ammar. Bayangan kehilangan Ammar semakin membuatnya frustasi. Ya Allah cobaan apa ini? Bahkan belum lama kami bersama. Jerit hati Zizi perih.
Di antara celah bebatuan, suara lemah seseorang memanggilnya. Ya, Ammar berteriak dalam ketidak berdayaan. Zizi yang terus berjalan semakin menjauhi tempat di mana Ammar tidak bisa melangkah.
“Zizi, Zizi kakak di sini! Tunggu Zi ... tunggu!!” Zizi terus berjalan dengan terseok.
“Zizi, Zizi, jangan pergi. Kakak sendiri, tolong Zi tunggu kakak. Zizi ... Zizi.”
Ditatapnya ombak yang menjauhkan suaranya memanggil Zizi. Percikan air yang dingin membuat teriakan Ammar terhenti, tidak pecaya Zizi sudah di dekat wajahnya.
“Masya Allah, Kakak niat shalat tahajud malah tertidur, pakai ngigau lagi.”
“Oh ya? Astqfirullah, kakak mimpi rupanya. Mengingau apa tadi?”
“Itu memanggil mbak Parmi,” cebik Zizi terus berdiri mengambil mukena. Ammar melangkah ke kamar mandi.
Mimpi penghias tidur yang aneh dan menakutkan. Ammar merasa tidak nyaman bila mengingatnya. Semoga Zizi tidak bertanya tentang mimpimya yang sempat membuatnya terganggu.Ya, mungkin tadi lupa tidak berdoa.
Segera diambilnya air wudhu. Suci dan dinginnya memyejukkan, menghilangkan rasa kantuk yang menempel.
Waktu subuh kurang sebentar sedikit lagi. Zizi baru menyelesaikan murrotalnya. Ammar yang sedari tadi ikut menikmati, kini beralih duduk disamping Zizi. Gerakan Ammar yang mendadak masih saja membuat Zizi hampir mendorongnya.
“Zi, ini suamimu bukan hantu.”
“Iya, Kak maaf Zi belum terbiasa.”
“Masa manggilnya kakak melulu. Ganti dong.” Jemari Zi menjadi sasaran Ammar. Digengam dan dikecupnya.
“Panggilnya apa? Abang? Ntar sama kaya bang Tahmid.”
“Mas, Mas Ammar gimana?” Ammar menatap manja.
Zizi menahan tawa, terdengar formal panggilan ‘mas’.
“Baiklah Mas Ammar, Zi setuju saja.”
“Terima kasih, coba diulangi!”
“Mas Ammar, itu hpnya berdering.” Zi menunjuk benda persegi di atas meja.
Wajah Ammar berubah 180 derajat begitu melihat nama si penelepon.
“Siapa Kak, eh Mas kok wajahnya begitu?
“Dari ibu Dik, tolong jangan bersuara dulu!” Ammar memberi isyarat.
“Hallo, Ibu Assalamualaikum”
“Walaikimussalam, Ammar semalam tidur mana dibel ibu nggak aktif?”
“Tidur di kamar Ibu.”
Derrtt...derrtt ...dertt
Nada dering hp Zi berbunyi, lupa tidak diheningkan. Buru-buru Zizi mematikan. Ah, rezeki. Batinnya.
“Ammar hp siapa itu? Kamu beli lagi?”
“Enggak bu, ada apa ibu?” Wajah Ammar sedikit khawatir kalau ibunya terus mengejar.
“Bisa pulang sekarang! ibu sakit perut Mar. Di rumah sepi, ayahmu pergi jemput simbah.”
Ammar belum sempat menjawab ketika suara ibu memanggilnya lagi.
“Mar, ibu khawatir ini usus buntu. Cepat ya!”
Klik, hp terputus. Ibu Asma terdengar kesakitan
Dialihkan wajahnya yang serius pada Zizi. Mata itu seakan meminta pertimbangan. Mengantar Zizi ke Klaten atau pulang menemani ibu?
(Bersambung) Bag 9
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 7
Zizi kecil berdiri kaku di pojokan rumah tua batas desa. Teman setianya lelehan air mata yang membasahai kedua pipi pucat itu. Gemuruh guntur dan hujan deras menenggelamkan isakan yang semakin lirih. Bibir mungilnya memanggil nama abang Tahmid tiada henti.
Sekelebat bayangan mendekati tubuhnya. Zizi merasakan ada yang hadir dalam gelap. Beberapa kali dipanggilnya nama Tahmid.
“Abang, abang! Tahmid. Zizi di sini Bang!”
Tidak ada jawaban dari sosok yang menerobos derasnya hujan. Zizi menangis sampai tak bersuara, seseorang yang diduga Tahmid telah menghilang. Mungkin suara Zizi tidak menjangkau karena hujan yang belum berhenti. Bocah sembilan tahun itu semakin ketakutan. Mendung yang menyerta gelap membuat Zi merasa sesak untuk bernapas.
“Zi, kamu di sini?” bocah tanggung menemukan Zi yang terjongkok memeluk kedua kakinya. Wajahnya dibenamkan menyentuh lutut.
“Kak Ammar, kah?” Zizi mendongakkan kepala.
“Alhamdulillah, Zi abangmu dan bude mencari-cari ke mana-mana.” Ammar ikut jongkok di samping Zizi.
“Zi takut Kak, gunturnya banyak.”
“Siapa yang ngajak main ke sini?”
“Tadi temannya banyak, waktu petak umpet Zi disuruh Mirza ngumpet di sini biar nggak ketahuan Rida. Terus hujan, mungkin yang lain sudah pulang.” Terang Zizi sesenggukan. Tangan Ammar meraih tangan Zi yang dingin.
“Sini tangannya biar nggak dingin. Kita tunggu agak reda. Payung kak Ammar kecil.”
“Iya Kak, Zi nggak takut lagi sekarang.”
“Kenapa harus takut kan, ada Allah sama kak Ammar.”
“Zi tadi sudah berdoa ada yang jemput dan kak Ammar datang.”
“Oh ya? Berarti kalau Zi takut ingat kak Ammar, pasti nanti datang menemani Zi.” Bocah manis itu hanya mengangguk, berusaha memahami kalimat Ammar. Gengaman Ammar membuatnya terlindungi dari ketakutan dan merasa aman.
*
“Kak.”
“Iya? Zi mau bilang apa?” suara Ammar datar, hatinya terus memohon agar Zi mencabut kalimat yang membuat jantung mau lepas.
“Kakak ingat nggak waktu Zi katakutan di rumah tua itu?”
“Ingat, kenapa?”
“Zi ternyata jahat ya sama Kakak, tidak punya terima kasih.” Ammar terdiam, belum menangkap maksud perkataan Zizi. Diliriknya sang waktu hampir setengah jam menemani Zizi di mobil.
“Kak Ammar bilang kalau Zi ketakutan suruh memanggil nama Kakak. Sekarang Zi sedang ketakutan dan Kakak sudah di samping Zi kenapa masih takut juga.”
Ammar mendesah pelan,” Dulu Zi masih polos, suci. Hanya yang baik-baik yang ada dalam dirimu. Karena sebenarnya yang membuat kita berani melawan takut hanya keyakinan. Bahwa Allah bersama dengan langkah kita. Zi, kakak mengambil dari ucapanmu sendiri.”
Zizi menggigit bibir bawahnya, menyadari apa yang baru saja diputuskan. Guncangan yang menekan jiwanya berujung pada bisikan yang lemah. Bayangan kepedihan bunda dan takdir pilunya, seperti mendobrak benteng kesabaran yang bertahun-tahun melindungi hatinya. Zizi yang sendiri bisa menghadapi kesepian dan kerinduan dari kasih sayang. Gapaian tangan Ammar bagai angin yang membelai mengajak menepi, dan mengisi ruang udara di seluruh urat nadinya.
Bayangan kelam menguasai sebagian nurani Zizi. Kaki yang hampir menjejak pintu kemuliaan terjebak pada balutan masa lalu. Kekuatan melangkah kian melemah ketika pijakkannya tersakiti tanpa jeda. Zizi tidak berdaya! Ammar menjadi pelampiasan atas apa yang terjadi. Melepas Ammar akan mengembalikan Zi yang sendiri dan itu menyakiti orang yang dicintai.
“Kak Ammar.” Suara lembut terdengar berbeda di telinga Ammar. Ditatapnya Zi yang bergeming.
“Kenapa Zi seakan tidak mengenali diri Zi sendiri, takdir yang menyakitkan membuat keyakinan Zi melemah. Kenapa sedikit bahagia saja belum mau menghampiri? Apakah Kak Ammar akan bahagia dengan kelam yang menyelimuti Zi?”
Rasa hangat menyusup di dada Ammar. Kuasa Allah, sinar kebaikan mengembalikan jiwa Zizi yang menuntut keadilan. Hak bahagia atas penderitaan yang mendera. Ammar begitu memahami jalan pikiran Zizi.
Dengan mantap Ammar memberi energi yang menguatkan langkah Zizi. Gadis di sebelahnya ini bukan orang yang tidak meyakini ketetapan. Sentuhan halus ayat-ayat Allah SWT membuat seorang Zizi mudah menyadari akan kelemahan dan kekhilafannya.
“Zi, Kak Ammar bisa memahami apa yang kamu rasakan. Tetapi bukan berarti kita bisa mengatur Yang Kuasa semau kita. Zi pernah bilang sama kakak, untuk menjadikan kuat bukan dengan makanan tapi dengan keimanan. Iman yang menguatkan dan menguraikan masalah dalam hidup kita. Ingat, kan?”
“Iya, Zizi ingat. Astqfirullah, ampuni hamba ya Allah. Kenapa Zi mudah sekali khilaf belakangan ini.” Lirih dengan usapan di sudut matanya.
“Kak Ammar, maafkan Zizi. Tidak seharusnya berkata yang tidak maslahat. Zizi terbiasa sendiri dan menyelesaikannya sendiri.”Ego itu telah terjatuh.
“Iya, Kakak tahu tadi bukan Zizi yang biasanya, yang kuat berdiri meski dihantam badai,” Ammar berkelekar yang membuat Zizi tersenyum tipis.
Bagi Zizi butuh waktu juga untuk mengenal Ammar kembali. Meski Ammar adalah bagian dari masa kecilnya. Seiring berjalannya waktu banyak hal yang belum dipahami Zizi. Bias hangat kembali hadir tatkala Ammar memberinya semangat menatap ke depan. Bunda akan bahagia meski tidak bisa hadir di acaranya besok. Ya, benar!
“Turun Zi, tidak enak kalau dilihat orang.”
“Iya Kak, emm ... Kak Ammar tidak marah, kan?”
“Apa Zi suka kalau kakak marah?” Ammar ganti bertanya. Gelengan Zizi mengakhiri kekhawatiran Ammar, ya Zizi butuh menenangkan hatinya.
*
“Aku terima nikahnya Hazima Sofia binti Muhammad Ilham dengan mas kawin tersebut diatas tunai.” Sekali helaan napas Ammar membuat Arasy Allah SWT di langit lapis ketujuh bergetar. Bersatunya jiwa dalam keridlaan.
“Gimana para saksi, sah?”
“Sah,” suara dua orang saksi melegakan kedua insan yang merajut ibadah itu. Doa untuk mempelai dipanjatkan khusuk oleh ustad Zulkifli. Berikut yang hadir mengamini dengan khusuk pula.
Rasa bahagia terpancar dari mata teduh Zizi yang sedikit sembab. Butiran yang kini luruh tanda syukur atas nikmat Allah yang mengambulkan doa-doanya. Ayah bundanya hadir, Bang Tahmid dan pakdenya ikut memberi restu.
Mushola mungil di kedai Ammar saksi bisu pernikahan yang sangat sederhana ini. Pak Ilham menikahkan sendiri putrinya dengan laki-laki yang kini bersimpuh di depan bunda Zizi.
Tepat jam 00.00 Zizi resmi menjadi istri sah Ammar Ikhsan Kamil. Pernikahan yang tidak pernah direncanakan Zizi dan Ammar. Inilah misteri takdir jodoh. Menikah tidak bisa ditunda, diundur, atau dimajukan. Ikhtiar manusia sebagai bentuk upaya mengikuti alur kehidupan. Tetapi ketika ketetapan itu diputuskan Rabbul alamiin maka ikhtiar menjadi amal yang tidak hilang.
Semua karena rasa sayang Pak Arsyad, ayah Ammar. Tanpa mengurangi nilai syarat sahnya menikah beliau menghendaki malam itu juga keduanya menikah. Dengan menghadirkan bu Ina, bunda Zizi. Perempuan yang malam itu ditemani suster Mila beberapa kali memeluk Zizi. Pak Ilham juga meneteskan air mata. Rasa syukur yang sama akan kebahagiaan Zizi, putrinya.
Sengaja surat bunda ditulis agar rencana Pak Arsyad menyatukan keduanya berjalan lancar. Sirna sudah kesedihan Zizi, Allah memberinya jalan yang terbaik. Bunda menemaninya ketika ikrar suci itu diucapkan Ammar dengan mantap.
Ammar tidak kalah bahagianya. Ketika harapannya hampir pupus, hatinya terus berdoa agar diberi kekuatan. Malam ini hidupnya berubah, berganti, seorang Ammar berstatus suami, menjadi kepala keluarga. Seorang Imam yang akan membawa makmumnya mencari ridla Allah.
Pak Arsyad memeluk anak laki-lakinya erat. Rasa bangga menjadi seorang ayah yang mengantar putranya menjadi pemimpin keluarga.
“Ammar, jaga dan rawat istrimu dengan baik. Jangan kau buat hatinya menangis. Dia sudah banyak menderita, kini kebahagiaannya di tanganmu.” Nasehat bijak ayah tak urung membuat manik hitam itu berkaca-kaca.
“Terima kasih atas semuanya Ayah. Mohon doa restunya. Ammar tidak menyangka malam ini anakmu menikah.”
“Semua sudah diatur Allah, nak. Bawalah malam ini Zizi ke penginapan yang ayah sewa. Besok antar dia ke Klaten. Tidak usah memikirkan yang lain.”
“Maaf Yah, apa semua ini karena ibu?”
“Sudahlah itu urusan ayah, yang penting kalian bahagia.”
“Siap ayah, terima kasih.” Ammar kembali memeluk ayahnya. Rasa haru itu masih menyusup diantara butiran yang jatuh.
“Selamat Mar, kejutan yang bikin aku iri.”
“Terima kasih Bro, semoga kamu lekas menyusul.”
“Aamiin, lihatlah Zizi! Rasanya lega malam ini. Ingat jangan bikin adikku terluka, kalau nggak mau dapat ini.” Tangan Tahmid memberi isyarat ke lehernya, diikuti gerakakan seperti memotong leher ayam.
“Mid, doa dan restu semuanya agar aku bisa menjadi suami yang baik buat Zizi.”
“Selalu, doa kami untuk kalian berdua.”
Bu Ina melepas putrinya haru. Meski tidak banyak berbicara, wajahnya menyiratkan kebahagian seorang ibu. Mencium kening Zizi dan menautkan tangannya ke tangan Ammar.
“Bunda nitip Zizi nak Ammar, jaga dia baik-baik.” Ucap bu Ina menatap lurus wajah Ammar.
“Insya Allah doa bunda kami harap selalu.”
“Tentu nak, bunda kan terus berdoa untuk kalian.”
“Aamiin terima kasih bunda.” Serempak pengantin baru itu mengaamiini.
Sejenak suasana larut dalam doa dan air mata bahagia. Kemudian melepas Zizi dan Ammar menuju tempat melepas lelah, penginapan di dekat ring road Maguwoharjo.
(BERSAMBUNG) Bag 8
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 6
#Untuk_Zizi
Mulut terkunci tanpa bisa terucap. Hanya sudut mata sembab itu yang bisa mengungkap. Hatinya berdesir, pijakan Zizi hampir roboh. Tubuhnya merapat mencari kekuatan yang meretas jiwanya.
Sepasang manusia berdiri di hadapannya. Pemilik jilbab biru dengan balutan celana jeans, dipadu kaos biru laut menguluk salam akrab. Senyumnya mengembang. Perasaan Zizi meletup-letup, tidak yakin dengan penglihatannya. Tetapi ini bukan di alam mimpi!
Sorot mata elang juga menghujam dengan tatapan yang sarat tanya. Kak Ammarnya seperti hendak menenggelamkan Zizi. Dia tidak kuasa memandang netra menyala itu. Tetapi kenapa datang bersamaan dengan Vita! Ya, Allah apa yang akan terjadi?
“Zi, kamu baik-baik saja, kan? Kenapa tamunya tidak dipersilahkan masuk?” Jihan menggapai tubuh lunglai itu.
Firasatnya mengatakan Zizi pada posisi yang ‘kritis’. Dipapah perlahan wajah yang memucat itu. Tamu tidak diundang yang membuat Zizi termangu dipersilahkan duduk.
“Maaf Mbak, emm Ammar, kan? mari silahkan masuk! Saya ajak Zizi ke dalam sebentar.”
Zizi terduduk bagai pohon yang akarnya tercabut. Meski tanpa butiran di pipi, Jihan merasakan kalau Zizi seperti melihat sesuatu yang membuatnya syock.
“Zi, istiqfar, sayang. Lha khaula walla quwwa ta illa billah. Mbak akan keluar menemui mereka. Minumlah teh hangat ini! Janji ya Zi, kamu harus kuat.” Langkah Jihan terhenti menuju ke ruang tamu ketika tangan Zizi menahan lengannya.
“Mbak tehnya biar Zi yang bawa.”
“Yakin?”
“Insyaa Allah, Zi kaget tingkat dewa tadi.”
“Bisa aja, ah. Wajahmu pucat banget tahu! Mbak takut kalau kamu roboh.” Jihan merasa lega Zizi bisa menguasai dirinya.
“Zi, ingat hari ini Ammar belum takdirmu!”
“Siap Ustadzah Jihan, mari Zi antar keluar. Dengan senang hati,” ucap Zizi mengurai kekhawatiran Jihan.
Zizi sama sekali tidak berani memperhatikan gerakan mata Ammar. Laki-laki itu sedikitpun tidak menyinggung perihal keberadaan Zizi. Obrolan mereka seputar bisnis Vita yang membuka resto di dekat jalan masuk pantai Bugel.
“Resto itu milik ayah. Saya yang dipercaya mengelola. Kebetulan saya suka kuliner Mbak. Akhirnya hobi jadi rezeki.”
“Wah hebat ya. Kalau gitu sudah paham daerah sini ya?”
“Enggak juga.”
“Lha ini buktinya bisa sampai rumah saya.” Kalimat Jihan halus tapi bermakna. Vita senyum dikulum.
“Tadi Vita ngebel saya Mbak, katanya lihat Zizi mampir ke restonya. Tanpa pikir panjang saya tancap gas kemari.” Terang Ammar dengan tenang. Tidak tampak seperti diawal melihat Zizi.
“Oleh-oleh tadi beli di sana Zi?”
“Iya Mbak, Zi nggak tahu ada mbak Vita di sana.” Pandangan Zi ke arah Vita.
“Saya kurang yakin sih, makanya saya coba telepon Ammar. Ternyata dia lagi kehilangan mbak Zizi.”
“Mbak Vita ini bisa aja kayak barang saja ilang. Zizi baik-baik saja kok, Cuma kangen aja sama saya.” Timpal Jihan ramah.
“Tapi sebaiknya jangan terkesan kabur dong, mbak Zi. Kasihan nih Ammar. Sampai lupa sama nasi. Oh ya Mar, awas jangan lupa dimakan itu nasi boxnya!” Vita mengingatkan dengan nada ancaman sambil melirik Zizi yang terdiam.Vita terlihat perhatian.
“Mbak aku pamit pulang. Tugas saya cuma ngantar bos ini sampai sini. Silahkan mampir ke resto Mbak, nanti saya bikinkan yang spesial. Mbak Zi jangan marah ya! Kalau saya lancang bawa Ammar kesini.”
‘Iya Zi, niat Vita cuma kasih tahu aja. Aku yang punya ide ke sini.” Zi mengiyakan tetap tanpa suara.
“Wajar kalau dik Ammar khawatir, iya nggak apa apa. Terima kasih Mbak Vita. Hati-hati ya” Jihan berusaha menengahi juga.
*
Ruang makan sudah rapi. Sebagai tuan rumah Jihan menjamu tamu sebaik-baiknya. Sekilas dia bisa merasakan rasa khawatir di wajah Ammar. Bentuk ungkapan hatinya untuk Zizi. Terucap rada syukur melihat kesungguhan Ammar. Jihan menyilahkan kedua insan itu berembug, agar tidak ada kesalah pahaman.
Ammar masih berkutat dengan gawainya. Kekalutannya hari ini berdampak pada banyak hal. Termasuk kena damprat dari Tahmid. Sepupu Zizi itu sampai mengancam, bila tidak menemukan Zizi dia akan membuat perhitungan. Tahmid mengerikan juga kalau lagi tidak terkontrol.
“Kak Ammar ada yang masih mau dikatakan?” Zizi memberanikan memulai pembicaraan.
Ammar memperhatikan gadis yang dicintainya itu. Melihatnya saja sudah membuat hati bahagia.
“Kak, kok malah diam. Menurut Zi, sebaiknya balik Jogja saja. Biar bisa istirahat dan nggak kemalaman, " Zizi mendonggak dan sekilas memandang Ammar.” Terima kasih sudah khawatir sama Zi.” Menunduk lagi.
Ammar menyadarkan punggungnya di sandaran kursi. Tidak tega melihat wajah Zi yang sedih. Dia yakin ada yang disembunyikan darinya. Dan bukan Zizi kalau mau curhat dengan sukarela. Zizi bukan anak kecil yang ringkih seperti dulu.
“Ceritanya ngusir calon suami ini?” tanya Ammar datar.
“Zi nggak ngusir.”
“Terus namanya apa Zi? Kakak ke sini mau memastikan kalau kamu baik-baik saja. Kamu paham kan? Abangmu Tahmid sampai hampir menghabisiku. Eh, sekarang malah diusir.” Ammar menghela napas.
“Iya iya, Zizi ngaku salah. Maaf, kalau bikin Kakak repot begini.” Rajuknya masih dengan posisi semula.
“Berapa kali Kakak bilang tidak ada yang merepotkan dan direpotkan. Kamu ada apa sih, Zi? Kayaknya kakak bisa pastikan kamu nggak hanya kangen sama mbak Jihan, iya, kan? Itu! Buktinya, mata merah dan bengkak.” Zizi bergeming, tidak bisa membantah lagi.
“Kenapa kamu juga nggak pernah cerita punya ibu peri di sini.” Ammar ingin Zizi mengerti.
“Kakak marah?” ucap Zizi bergetar. Suara tegas Ammar ternyata bikin merinding juga.
“Kakak nggak marah Zi. Kakak hanya khawatir kamu kenapa napa. Rasanya kakak tidak bisa bernapas seharian tadi.” Mata Zizi tak kuasa menahan mendung.
Laki-laki itu benar-benar mengkhawatirkannya. Kenapa rasanya menjadi tidak berguna? Satu langkah Zizi dimenangkan oleh Vita. Dia yang ‘menyelamatkan’ Ammar dari kegelisahannya. Ada apa dengan Vita sebenarnya? Tidak mungkin juga ini ditanyakan ke Ammar.
“Zi, kakak sudah bilang sama Mbak Jihan, malam ini kamu nggak bisa nginap sini.”
“ Kak? Tolong semalam ini saja, ya?”
“Mbak Jihan setuju kamu balik. Zi, kata ibu anak perawan nggak baik tidur di rumah orang. Apa itu namanya, pamali?” bantah Ammar.
Zizi tidak menanggapi. Kalau sudah menyangkut ibu Asma rasanya semua jadi terkunci. Hatinya mencoba berdamai dengan perhatian Ammar. Percuma ngotot juga. Kak Ammar memang belum punya hak atas dirinya. Tetapi dia tidak akan tinggal diam bila terjadi apa-apa dengan hidupnya. Lalu bagaimana dengan bunda?
“Ibu siang tadi cerita, kemarin kamu bertemu ibu dan Vita di swalayan. Kenapa Zi nggak cerita sama Kakak? Sengaja dirahasiakan?”
“Masa gitu aja harus cerita. Terus ibu bilang apa lagi?” Ammar mengerutkan dahinya. Kok malah Zizi yang balik tanya.
“Zi, kakak jadi curiga ini. Apakah kamu ke rumah ini ada hubungannya dengan ketemu ibu kemarin?”
“Enggak, nggak ada, kak Ammar jadi kaya intel, main curiga.” Cepat Zi mengelak.
“Baiklah kalau memang nggak ada. Kakak hargai prinsipmu. Tapi tolong, jangan diulangi peristiwa hari ini ya!” pinta Ammar lembut.
“Kakak kadang lupa kalau Zi bukan Zi yang dulu. Jangan-jangan Zi punya banyak rahasia yang kakak nggak tahu. Rasanya kaya baru kenal sama calon istri.”
“Kakak berlebihan gitu.” Protes Zizi
“Lho kenyataannya, kan? Sekarang Jujur sama kakak. Apa selama ini Zi memikirkan kakak?”
“Iya, puas?” Ammar tertawa tanpa suara. Perlahan sifat Zi mulai dipahaminya.
“Terima kasih calon istriku. Baru dipikirin saja kakak sudah senang.”
“Terus saja ngeledeki Zizi, bikin sebal! kakak mirip banget sama abang. Awas nanti kalau bikin Zi nangis.”
“Ish bisa menggancam juga. Zizi, kamu ini lucu. Oh ya, ada pesan dari abangmu suruh mampir ke bundamu.”
“Untuk apa?”
“Menjemput bunda Zi. Waktu Tahmid ke rumah sakit beliau minta dijemput malam ini. Tahmid ada urusan gitu katanya.”
Apa yang harus aku bilang tentang ibunya sama kak Ammar? Semua akan berakibat tidak baik, terutama hubungan keduanya. Tapi benarkah mengorbankan bunda demi ibu Asma? Kembali rasa sakit datang, kepalanya pening memikirkan semuanya.
Tangannya meremas pegangan kursi sambil beberapa kali membuang napas. Perubahan itu ditangkap oleh Ammar. Perlahan duduknya digeser mendekat ke Zizi. Tanpa menyentuhnya dicoba mencari kegundahan yang tampak di wajah Zizi.
“Zi, kamu baik-baik saja?” Zi mengangguk tanpa menoleh. Tanyanya.
“Apa kakak yakin kalau bunda nggak bikin masalah besok?”
“Kenapa Zi bilang begitu? Bunda tidak ingin melewatkan hari bahagia putrinya. Itu modal bagi bunda untuk semangat. Jangan dipatahkan niatan bunda. Tolong Zi bilang yang sebenarnya, ini kekhawatiranmu atau ibuku?” tanya Ammar curiga mengingat pesan ibunya beberapa hari lalu.
Jawaban Zizi hanya dengan butiran bening yang luruh lagi. Ammar begitu mudah menebak hatinya. Zizi merasa berada pada dua ujung tanduk yang siap menusuknya.
“Zi, jangan lemah karena pendapat orang lain. Siapapun itu! Tidak harus kita memberikan alasan atas sikap kita. Mungkin memang menyakitkan, tapi itu lebih baik. Daripada kita melangkah untuk menyenangkan orang, sementara hati kita tersakiti.”
“Kakak setuju bunda ikut acara besok?” tanyanya disela isak lirih.
“Setuju, dari kemarin-kemarin kakak setuju. Kenapa enggak? Tidak ada yang salah dengan kehadiran beliau. Sudah Zi, sudah tolong jangan nangis terus. Besok pada pangling lihat pengantin Kakak.”
Ammar masih sempat menggodanya. Jika saja sudah halal, tidak akan dibiarkan Zizi hanya berpegangan kursi. Batin Ammar. Dia menelan ludah menyadari khayalan konyolnya.
“Kakak apaan, orang air mata Zi sendiri di larang.” Semakin gemas Ammar dengan sikap keras kepala Zizi.
“Iya deh maaf, air mata grstis juga, kan? Sudah kamu siap-siap! Kakak pamit mbak Jihan dulu. Nih sapu tangan kakak!”
“Terima kasih Kak.” Ammar merasa lega, setidaknya Zizi sudah mau terbuka meski harus berliku-liku.
Zizi tidak bisa menolak lagi. Uraian Ammar cukup membantunya menentukan sikap. Zizi teringat kekhawatiran Ammar setelah dia bertemu ibu Asma. Dirinyalah yang berusaha meyakinkan Ammar akan takdir Allah. Memang harus saling menguatkan, bukankah itu bagian dari hakikat manikah nanti.
“Kak, seseorang menemui bunda. Suster bilang keluarga bunda.” Seru Zizi dari arah dapur.
“Mungkin ayahmu Zi, ayo segera berangkat!”
(BERSAMBUNG). bag. 7
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 5
Ammar sedang mempersiapkan catatan untuk kebutuhan kedai kopinya. Dalam sepekan kedepan dia berniat fokus pada acara walimahan. Pasca menikah Ammar berencana langsung menempati rumah mungil di kampung dekat kedai kopi. Sebuah istana kecil hasil kerja kerasnya selama ini.
Membangun keluarga yang sakinah penuh keberkahan. Tempat mencari kehangatan jiwa dan mencurahkan kasih sayang penuh cinta. Membahagiakan Zizi adalah wujud impian yang tersimpan, yang tertanam di sudut hati yang paling dalam.
Dua hari menjelang akaq nikah sungguh jauh dari yang dibayangkan. Ammar yang biasanya mudah mengontrol hati dan pikiran, entah mengapa tampak mudah tersinggung dan pelupa!
Beberapa karyawan terkena imbas karena bekerja tidak sesuai petunjuknya. Termasuk Roni sebagai tangan panjangnya.
Pria itu tersenyum kecut. Baru saja ditegur Ammar dengan bahasa yang bikin jantung kalang kabut.
Ada seorang pelanggan mengomplain rasa tempe mendoan yang agak kecut. Padahal selama ini tempe mendoan adalah gorengan favorit di kedai kopi bernuansa ‘pawon’ itu. Tanpa bertanya apa dan kenapa, Ammar mencecar Roni seperti pesakitan tanpa diberi kesempatan berbicara. Sebenarnya sangat wajar, karena Roni yang bertanggung jawab mengurusi pengadaan barang.
Sedang Si Arga, koki jebolan tehnik boga itu juga dibuat bungkam tak berkutik.
“Ar, di kampus nggak diajari ngetes tempe mau busuk? Masa sudah lulus kalah sama mbak Parmi! Urus semua yang tadi kamu bikin!” Arga setengah berlari memberesi tempe mendoan yang tersaji.
Ah, memang lagi apes. Baru kali ini tidak ngecek kondisi tempe, eh pas pak boss sedang banyak pikiran. Hibur Arga dengan rasa sesal.
Saat itu juga semua tempe mendoan yang di produksi bersamaan, ditarik dan diganti dengan yang baru. Sementara Roni mendapat peringatan keras atas keteledorannya itu.
Masih bersyukur tidak potong gaji.
Ah, si boss masih punya hati yang baik. Roni ikut membatin.
Di kantor, Ammar menatap beberapa lembar undangan di meja tanpa ekspresi. Undangan yang didesain Zizi memberi nuansa haru yang membuat perasaannya menghangat. Emosinya luruh mencoba mencari celah atas sikap kasarnya pada karyawan.
“Wudhu Kak biar setannya pada kabur kena air suci,” bisik Zizi dekat di telingamya.
Ammar mendengus, itu hanya khayalannya saja. Begitu membaca nama Zizi, kenapa langsung suaranya hadir meredam panas pikiran tanpa sebab. Apa mungkin malaikat mengingatkan lewat suara Zizi? Dengan semangat diseretnya kaki beralas sandal japit ke kamar mandi. Ya, wudhu itu lebih baik!
Tak terasa lepas menghadap sang Rabb hati mulai tenang dan memang harus tenang! Memang begitulah hakikat mencegah perbuatan keji dan munkar. Akan hilang makna shalat bila tidak diiringi dengan langkah kongkrit. Bentuk ‘ih dinash shirathal Mustaqiim’ dalam setiap rakaat yang dibaca. Termasuk menahan nafsu marah bila menyelesaikan masalah. Mendadak Ammar merasa malu mengingat sikapnya ke Roni dan Arga yang tak bijak.
Dia menyandarkan kepala di kursi. Sepekan tidak bertemu Zizi membuatnya susah bernapas. Benar-benar oksigen tidak mampu mengurai rasa rindu yang menyusup. Sungguh ini sebuah ujian yang seharusnya tidak merisaukannya.
Ammar tersenyum konyol. Belum jadi kekasih halal sudah menggunung kangennya, apalagi nanti. Ah, bisa dipastikan dalam sedetik tidak akan lepas dari wajah teduh itu. Dalam setiap napas hanya oksigen yang serupa Zizi yang membuatnya bisa membuka mata setiap fajar. Hemmm... indah dalam setiap kerinduan.
Benarlah kiranya hadist Rasulullah yang mengisyaratkan, bahwa sebaik-baik keindahan di dunia adalah istri salihah. Jika dipandang menentramkan, dan bila dirasakan akan menyejukkan jiwa. Ammar menghela napas lagi sembari beristiqfar. Nalarnya hampir terbelenggu hasrat jiwanya yang sempat terantuk batu.
Zizi sengaja meminta untuk tidak bertemu sampai hari suci itu tiba. Alasannya juga bisa diterima. Untuk menjaga kebaikan semuanya, yang jelas karena secara hukum belum halal! Masya Allah Zizi begitu berhati-hati dalam melangkah. Tidak ingin mengotori hati meski dengan bakal suami.
Ammar yang semula rada keberatan, menawar menggunakan wa untuk komunikasi. Zizi yang keukeh akhirnya mengalah. Tentu saja dengan catatan jika ada masalah yang penting atau mendesak alias darurat. Pun itu bisa bertemu.
Alhamdulillah, hampir seratus persen semua pernak pernik persiapan akaq dan walimahan rampung. Sebagian diurus Ammar dan sebagian Tahmid dibantu Zizi. Orang tua tahunya beres, yang terpenting doa dan restu mereka. Sengaja ini dilakukan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bukannya banyak kasus karena kecapean, justru di hari H orang tua malah harus menginap di rumah sakit.
Ammar membuka memori persiapan yang belum kelar. Ya, tinggal sauvenir yang dibuat Zizi sendiri. Pekerjaannya belum tunts karena satu karyawan yang membantu, mbak Arum cuti melahirkan. Makanya Zizi sendiri yang memaksa turun tangan. Ammar sempat mengkhawatirkan Zizi yang lembur beberapa hari ini. Bukan tidak Mungkin Zizi malah tidak berdaya saat ikatan suci diikrarkan. Ah, Ammar mulai menyadari sifat keras kepala seorang Zizi.
Perasaan aneh menyusup tanpa sebab. Sejak subuh Zizi tidak bisa dihubungi. Pesan wa terakhir dilihat jam sebelas malam. Hampir masuk dhuhur tetap saja ponselnya belum aktif. Ammar mulai tidak tenang. Mbak Putri dan Dian yang menempati rumah produksi juga tidak bisa dihubungi.
“Bos, permisi,” Herman masuk diikuti seorang perempuan.
Ammar bangkit dan mempersilahkan tamunya. Tetiba ada firasat yang kurang mengenakkan. Demi melihat siapa tamunya.
“Dian?”
“Iya Pak, maaf kalau saya nggak ngabari dulu mau ke sini. Hp saya error.”
“Iya ngak papa, Zizi?” tanya Ammar tidak sabar. Dian berusaha tenang, sambil menyerahkan barang yang dikemas duz ukuran besar.
“Nah itu, mbak Zi hpnya nggak aktif. Padahal pamitnya cuma ke pasar. Saya kira ada di sini Pak.”
Ammar duduk tanpak cemas. Hampir jam dua siang. Kemana kamu Zi?
“Oh ya, mas Tahmid juga telepon tadi. Menanyakan kapan mbak Zi yang balik Klaten."
“Jam berapa Tahmid telepon?”
“Sebelum saya ke sini, Pak, “ jelas Dian berubah menjadi ikut cemas. Berarti Zizi tidak ke Klaten.
“Dian tahu nggak, biasanya Zizi ke mana maksudku dia punya tempat favorit atau teman gitu?”
Gadis berkerudung biru tua itu mencoba mengingat. Memorinya tak menyimpan apapun selain rumah sakit Grasia dan kios jualan.
“Gimana Dian?”
“Saya tahunya cuma di rumah sakit dan kios. Tapi hari ini kios tutup Pak.”
“Oh gitu. Ya Allah ke mana kamu Zi?” bisik Ammar tetapi jelas didengar Dian.
Ruangan tersapu tiupan angin dari luar. Sedikit memberi rasa sejuk di panas yang mulai mereda. Seorang Ammar berusaha bersikap tenang walau hatinya ingin berlari. Mencari ke mana saja Zizi berada.
Bayangan pengantin hilang dihari pernikahan menambah gemuruh di dadanya. Rasanya tak sanggup bernapas bila ini terjadi. Tetapi apakah Zizi sekerdil itu? Lalu kenapa pergi tanpa keterangan yang nggak jelas begini?Ah, Ammar menutup wajahnya dengan cemas tingkat dewa.
Wajah Dian berubah harap seperti menemukan jalan keluar dari masalah. Secarik kertas diberikan pada Ammar.
“Pak Ammar, saya ingat sesuatu.”
“Iya, apa itu? Ini nomor siapa?"
“Mbak Zi sering berkunjung ke panti asuhan Sayang Hati di Kalasan. Dekat kok dari sini. Itu nomor kantornya.”
“Oh ya ke mana arahnya?” Ammar antusias mendengar perkataan Dian.
“Dari kedai ke arah selokan mataram terus ambil kiri.”
“ Jembatan baru itu?”
“Iya ambil kiri sebelah kanan jalan.”
“Oh situ, saya pernah lewat. Memang Zizi ngapain kalau ke sana?” Ammar penasaran.
“Ya bantu-bantu Pak, kadang-kadang sampai menginap. Ada temannya yang mengasuh di sana. Gimana kalau ditelepon saja Pak?”
“Alhamdulillah, terima kasih Dian. Oh ya ini ada air mineral ambil sendiri. Saya coba telepon.”
Dengan langkah buru-buru Ammar keluar ruangan. Hatinya berharap Zizi benar ke panti asuhan itu.
Tut tut tut ... tut tut tut ...
Tidak tersambung sampai beberapa kali. Sambil terus memohon pada Allah jantungnya mendadak berkejaran.
“Iya Hallo Assalamualaikum, panti Asuhan Sayang Hati, ada yang bisa dibantu?” suara dari seberang milik seorang perempuan. Sedikit lega menggalir di hati Ammar.
“Walaikumussalam, maaf mengganggu. Saya Ammar calon suami Zizi.”
“Oh ya, kenapa Pak Ammar? Cari mbak Zi, ya?”
“Iya benar, Apa Zizi masih di Panti Ibu?”
“Lho, sudah dari jam sebelas tadi pergi, Pak.” Ah, pupus hati Ammar.
“Apa Zi cerita mau ke mana Ibu? Hpnya tidak bisa dihubungi,” jelas Ammar bergetar.
“Maaf, mbak Zi nggak cerita apa-apa.”
Pembicaraan ditutup dengan gontai, titik terang kembali memudar. Ammar kehilangan jejak Zizi. Keterangan terakhir ibu panti kalau benda slim itu baterainya habis dan Zi lupa mengisi energinya.
Hanya hembusan napas dan kekhawatiran yang tampak di wajah penuh harap itu. Ammar belum tahu mau berbuat apa.
Sebuah panggilan masuk sempat membuat jantung Ammar berirama cepat. Harapannya Zizi yang menelepon. Apalagi dengan nomor asing.
“Hallo, assalamualaikum. Mar ini Tahmid, kamu di mana? Zizi sama kamu nggak?”
*
Menatap langit tanpa gelap mendung.
Menyambut jiwa dalam tangkup rindu
Menyentuh peluh teguh beradu
Membersamaimu tanpa ragu di ujung waktu
Selamanya ingin langit membiru.
Bergerak berarak mengikuti angin syahdu
Tak hendak tautan menjauh bersamamu
(Hazima Sofia, ‘Jika memang engkau takdirku’)
*
Senja yang setia dengan sapuan jingganya. Entahlah, kenapa banyak kaum hawa yang menyuka. Menatap lekat lama seakan menanti dalam ketidakpastian. Lukisannya indah membentang angkasa raya. Bagaskara menenggelamkan pesona sinarnya. Menjemput gelap menebar rasa memeluk aman.
Di sinilah seorang Zi sedang tertunduk. Merenungi perjalanan hidup yang penuh dengan goresan warna. Berbekas sampai ke dasar hati yang paling dalam. Mungkin tidak bisa hilang bekas luka itu. Bila ada duri yang menyinggung, maka luka itu pun akan menyebabkan keperihan yang terulang. Bahkan lebih sakit dan pedih.
Pena setia menemani di lembaran putih. Zizi menyandarkan hatinya agar berdamai dengan skenario-Nya. Pandangan mata tak lelah mencari harmoni ombak yang terus berkejaran. Dengan kuasa Allah ombak tidak pernah lelah saling menyambut. Deburan besar Pantai Bugel tidak mengusiknya.
Berkejaran pasang surut sepanjang mangsa. Mengisyaratkan hidup yang berirama. Terkadang di depan dan tetap harus menoleh ke belakang. Sebagai pengingat dan bentuk syukur semata.
Zizi enggan berpindah dari tempatnya berpijak. Selain masih kangen dengan mbak Jihan masih ada yang menggayut di pikirannya. Tanpa disadari pundaknya digamit seorang, mbak Jihan.
“Zi, adzan magrib kurang beberapa menit lagi.”
“Mbak? Ah, kenapa waktu berjalan begitu cepat.” Dengusnya.
“Ini mengeluh atau tidak sabar menunggu hitungan jam?” kerling Jihan mencubit pipi Zizi.
“Entahlah Mbak, Zi sendiri nggak paham.” Jihan menepuk pundak Zizi dan mengajaknya pulang. Dengan motor bebek rumah Jihan hanya butuh waktu sepuluh menit dari pantai Bugel.
“Tadi ponselmu berdering sampai puluhan kali.”
“Terus?”
“Karena kamu nggak pesan apa-apa ya mbak biarkan saja.”
“Alhamdulillah terima kasih mbak.” Jihan mengerutkan keningnya. Ada apa dengan Zizi? Ditelepon calon suami tidak mau berbicara malah bersyukur.
Tadarus bersama menambah kangen kedua perempuan salihah itu. Jihan gembira dikunjungi Zizi, adik kelasnya di pondok yang dianggap seperti adik sendiri. Hubungan mereka sangat akrab semenjak Jihan mengetahui keadaan Zizi.
Kehadiran Jihan bukan hanya seperti ibu peri pengganti Tahmid. Sifat lembut tetapi tegas yang dimilik Jihan, mampu menyentuh perasaan Zizi. Pelan-pelan Zizi berani menatap harinya dengan penuh keyakinan.
Jihan melepas mukena dan menatap wajah tidak bersemangat Zizi. Aneh, calon pengantin dalam kemurungan. Segera dipeluk tubuh Zizi yang terlihat kurus. Tidak tega melihat matanya yang berkabut.
“Zi, satu kata untukmu, kamu sedang ragu. Benar, kan?” Jihan menguar pelukannya.
“Apa yang harus Zi lakukan Mbak?”
“Ammar?”
“Bukan, bukan kak Ammar.”
“Terus siapa? Bukankah kamu mau nikah sama dia?”
“Dua orang yang sama-sama Zizi hormati, bunda dan ibu Asma, ibu kak Ammar.”
“Zi, bukannya kamu cerita kalau ibunya Ammar menerima dengan baik. Tiba-tiba berubah, secepat itu?”
“Ceritanya panjang Mbak.”
*
Flash back sehari sebelumnya.
Zizi menatap mainan bebek warna kuning yang lucu. Ada bebek besar ditambah lima bebek kecil yang juga imut. Bibirnya tersungging sambil membayangkan mainan itu menemani Khadija mandi. Balita satahun itu pasti terkekeh senang. Khadija yang malang, penghuni panti yang tidak diketahui siapa orang tuanya.
Tanpa ragu mainan itu diambilnya ketika ada tangan yang ikut memegangnya juga. Keduanya bertatapan dan saling memberi sapa
“Maaf, kalau boleh buat saya ya Mbak,” kata gadis berwajah cantik itu ramah.
“Oh, boleh-boleh silahkan! Ini.”
“Terima kasih, ngomong-ngomong belikan purtanya Mbak?”
“Bukan, Mbak sendiri?”
“Untuk calon keponakan saya,” ucapnya tanpa kedip mengamati sudut wajah Zizi.
“Sepertinya saya pernah lihat Mbak lho.”
“Masa sih? Kita belum pernah ketemu,” jelas Zizi sambil mencoba mengingat.
“Mbak Zizi, kan? Ah, saya ingat sekarang.”
“Iya saya Zizi, emm... apakah Mbak pernah membeli novel saya? Maaf kalau saya lupa.”
“Ada apa Vit? Lama banget. Ibu sudah nunggu lama di kasir. Lho ada Zizi?”
“Ibu Asma?” Masya Allah, dunia memang tidak seluas samudera.
Dengan takzim Zizi mengambil tangan perempuan itu. Menciumnya dengan jantung yang berpacu kencang.
“Sedang apa kalian? Zi, kenalkan ini Vita.”
“Iya Ibu, tadi sempat ngobrol sebentar. Maaf Mbak kalau saya kurang sopan.” Zizi merendah dan mengulurkan tangannya.
“Senang berkenalan denganmu, mbak Zizi. Selamat ya atas pernikahannya. Mbak Zizi sungguh beruntung.” Senyum Vita tanpa memperlihatkan giginya.
“Sama-sama Mbak, ini belanja bareng Ibu, ya?”
“Iya Zi, kapan-kapan kita belanja bareng, ya. Oh ya, Vit kamu cepat antri sana! Ibu mau bicara sebentar sama Zizi.” Terdengar begitu akrab di telinga. Sementara Zizi sibuk berdoa menata hatinya, perasaan tidak nyaman menyeruak.
“Ngobrol apa tadi Zi?”
“Oh, ini kami bersaman mengambil mainan bebek tadi.”
“Kok bisa, selera kalian sama ya?” wajah bu Asma terheran kemudian tertawa lirih.
“Zi, gimana penampilan Vita?”
“Maaf, maksud Ibu busananya?
“Ah, bukan itu, kamu perhatikan nggak tadi cara bicaranya? Keluarganya sangat terpelajar, tidak heran kalau anaknya juga menurun.” Zizi masih tidak bersuara, tetapi hatinya bergemuruh.
“Zi, dia sangat mengagumi Ammar. Tetapi dia tidak marah mendengar Ammar memilih kamu. Lihat dia tetap ramah, kan tadi?” puji ibu Asma tanpa melihat ke arah Zizi.
Sesaat Zizi berhasil menahan apa yang dirasakan. Sampai ketika bu Asma membisikkan sesuatu di telingannya.
“Zi, ada sesuatu yang perlu kamu pahami.” Zizi berusaha mendengarkan baik-baik.
“Iya Ibu.”
“Vita berkata kalau dia siap menjadi yang kedua.” Zizi mematung dengan jantung seperti di pompa saja. Apa maksud ibu?
Jadi gadis yang dimaksud ibu dulu adalah Vita. Pantas saja keduanya sangat akrab. Dicobanya bersikap sewajarnya, menyadari Ammar baru calon imamnya. Tidak ada alasan untuk memihak. Dan diam adalah posisi yang aman.
“Satu lagi Zi, ibu minta sama kamu! Jangan ada keributan diacaramu besok. Paham, kan maksud ibu? Nanti bapaknya Ammar bisa jantungan.” Masih tetap dengan senyum yang terasa menghujam hati Zizi.
“Paham Ibu, semoga semuanya nanti lancar.” Zizi menahan embun yang hampir luruh.
“Ibu duluan ya! Vita sudah selesai itu. Kamu jaga diri ya! pengantin jangan sampai sakit. Bisa-bisa diganti nanti pengantinnya.” Lagi-lagi Zizi cuma menarik bibirnya senatural mungkin. Pelukkan bu Asma terasa berbeda, bahkan lebih hangat pelukan bu Handayani.
*
Suara isak yang tertahan tidak terdengar. Zizi benar-benar menumpahkan yang menyekat tenggorokan. Berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Pernyataan calon mertuanya bukan angin lalu yang lewat begitu saja.
Sanggupkah melarang bunda hadir demi kekhawatiran ibu Ammar. Sebenarnya apa yang ada di hatinya? Jika tidak menerima kenapa beliau menyetujui? Apa yang harus aku lakukan? Batin Zizi gamang.
“Lihat wajah mbak, Zi! Sekarang mbak paham yang kamu rasakan. Kamu nggak boleh menyesali putusanmu. Yang menikah kamu dan Ammar. Kesungguhanmu akan meluluhkan ibunya Ammar. Dan itu tidak semudah yang kamu bayangkan.” Butiran bening itu deras menganak sungai, mata coklatnya diliputi mendung kelabu. Zizi sungguh pada titik tak berdaya.
“Jika Ammar memang jodohmu, rintangan yang menghalang tidak akan memisahkan kalian. Ingat kisah nabi Adam dan ibu para ummat? Rasa yakin menguatkan semuanya Zi. Dan yakin itu bukan di pikiranmu tetapi di sini. Di hatimu.”
“ Zi hanya tidak mau semua ini akan menyebabkan kesalah pahaman dengan kak Ammar, dan akibatnya jelas kurang baik Mbak. Dan nggak mungkin cerita ke abang."
“Iya benar tapi kamu belum cerita ke Ammar masalah ini, kan?” Zizi menggeleng lemah.
“Bagus kalau begitu. Syukurlah kamu msih bisa nalar Zi. Sekarang cobalah pejamkan matamu! Dengarkan hatimu, yang lekat kamu rasakan yang mana? Jangan lupa sambil berdoa adikku. Ayo lakukan dengan bismillah terlebih dulu!”
Tanpa menunggu lama Zizi melakukan petunjuk Jihan. Ingatannya kembali ke masa pondok. Cara ini dipakai untuk membantu santri agar kerasan di pondok. Zizi berusaha untuk mendengarkan suara hatinya, tetapi tetap saja tidak bisa! Dia membuang napas kasar.
“Masya Allah, tidak bisa, Zi tidak bisa mbak. Keduanya orang yang berharga dalam hidup Zi.” Kini Zizi yang mencari hangatnya seorang ibu. Jihan begitu iba sambil mengusap kerudung lebar Zizi.
“Kamu lelah Zi, istirahatlah dulu! Mbak nggak izinkan kamu balik malam ini sendiri jika kamu kaya gini.”
“Iya Mbak, Zi juga masih kangen sama Mbak. Semoga besok Zizi mendapat petunjuk yang terbaik. Aamiin.” Zizi melepas pelukannya.
“Menurut mbak, sebaiknya kamu kabari Tahmid. Dia pasti kebingungan mencarimu.”
“Baik Mbak, Zi ambil ponsel dulu.”
Meski belum terurai yang mengganjal di hatinya, Zizi merasa lebih lega. Rasa lelahnya lebih menginginkannya untuk memeluk malam.
[Assalamulaikum, Zi ada di tempat yang aman. Butuh sesaat sendiri. Abang jangan khwatir. Pagi Zi pulang]
Pesan wa untuk Tahmid sudah terkirim, tetapi belum dibaca. Biarlah yang penting sudah terkirim. Zi menekan nomor Ammar, pesan padat ditulisnya.
[Assalamualaikum, Kak Ammar maaf baru wa. Zi di sini aman. Tolong jangan menghubungi. Terima kasih].
Senyum tipis membuat mata Zizi yang sembab terlihat menyempit. Hawanya semakin terasa dingin di daerah dekat pantai ketika malam merayap. Jihan merasa senang Zizi menginap. Itu artinya dia tidak sendiri. Sang suami melakukan dinas dan harus bermalam.
“Zi, ada mobil datang. Masa Mas Sadid sih?”
“Ada yang ketinggalan mungkin Mbak.”
“Mbak yakin sudah dibawa semua, tadi yang paking tangan mbak sendiri.”
“Zi yang buka pintunya Mbak, gimana? Baju mbak belum rapi gitu,” goda Zi lucu.
Suara ketokan pintu yang pelan menambah penasaran Jihan. Suaminya tidak pernah mengetok pintu seperti itu. Tanpa suara salam !
Terdengar pintu berderit berpindah posisi, tetapi tidak terdengar tanda-tanda kedatangan seseorang dari ruang depan.
“Zi, siapa yang datang?” Jihan mencoba mencari tahu, tetap saja Zizi tidak menyahut. Dengan langkah curiga Jihan mencari tahu apa yang terjadi.
“Zi, kenapa diam. Oh ... Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Jihan. Mata orientalnya semakin kentara menyipit!
Pantas Zizi terpana dengan mata nanar demi melihat siapa yang datang. Jihan tidak kalah terkejutnya dari Zizi.
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 4
Mengenal_Calon_Mertua.
Bu Handayani memandang bros bulan bintang berwarna silver dengan senyum. Perempuan pegawai bank itu berkali-kali mengucapkan rasa kagum dan terima kasih. Mengingat pesannya yang mendadak. Zizi membalas dengan rendah hati.
“Atas doa ibu juga kerjaan ini bisa selesai tepat waktu. Alhamdulillah karyawan bisa diajak ngebut Ibu.”
“Nak Zi pasti membuatnya dengan hati. Terlihat hidup bros sederhana ini. Maksud ibu bentuknya simpel.”
“Terima kasih Ibu. Emm kalau boleh tahu ide siapa bros bulan bintang ini, Ibu?” tanya Zizi penasaran melihat reaksi bu Handayani.
“Ide ibu sendiri. Ibu punya harapan dengan simbul ini.”
“Ada filosofinya Ibu?”
“Iya nak Zi. Lihat bulan dan bintang hanya muncul di malam hari. Ibarat pasangan keduanya selalu rukun. Pada saat bulan hadir bintang tidak merasa tersaingi, meski cahyanya tidak seterang bulan. Bintang menambah cantik terangnya bulan. Di saat bulan belum waktunya muncul, bintang setia bersinar. Kerlip kecilnya mampu menghias malam menjadi indah.” Bu Handayani berpindah posisi duduk. Rupanya tidak tahan duduk dengan kaki di tekuk.
“Maaf ya ibu kesemutan.” Zizi tersenyum memahami usia jelita rentan dengan capek.
“Kalau Nak Zi cermat pasti bisa menangkap maksud ibu. Iya, kan?Bahwa dalam sebuah ikatan tidak ada yang menang dan kalah. Adanya saling mendukung, menguatkan dan setia. Itu kunci Nak, meskipun sedang dalam posisi gelap atau terang. Pada saat susah atau senang.”
“Masya Allah segitu hebatnya ya, Ibu?”
“Orang menikah itu jangan dibayangkan enaknya saja. Masa duka juga harus siap. Hidup itu kan, berputar Nak. Insyaa Allah, ibu yakin jika keduanya memiliki satu tujuan semua masalah akan selesai. Justru ikatan menjadi semakin kuat.”
“Benar Ibu, wah ... saya dapat ilmu banyak hari ini. Semoga besok acara walimahan putrinya lancar, dan diberkahi menjadi keluarga yang sakinah mawwadah wa rahmah. Aamiin.”
“Alhamdulillah, terima kasih doanya. Kamu datang ya, ibu undang khusus buat Nak Zi.”
“Insyaa Allah Ibu semoga tidak ada halangan. Saya permisi dulu masih ada urusan lain.” Zizi menyalami bu Handayani.
“Iya Nak Zi sama-sama. Eh, ibu dengar dari karyawan kemarin Nak Zi mau married juga. Selamat ya, ibu ikut senang.” Sebuah pelukan tulus dari seorang ibu juga. Zi merasa terharu.
“Ibu dan calon mertuamu pasti bangga memiliki anak dan menantu sepertimu. Salihah, mandiri dan sayang orang tua.”
“Mohon doanya Ibu, aamiin.”
“Kalau ibu punya anak laki-laki, nak Zi bakal ibu lamarin buatnya,” senyum bu Handayani mengembang dan menepuk halus pipi Zizi.
“Ibu bisa saja, yang ada anaknya yang nggak mau.”
Sungguh suasana kekeluargaan yang menyenangkan. Itulah rezeki yang tidak bisa diukur dengan materi. Membangun hubungan pelangan dengan hati, bukan sekedar menguntungkan. Zizi menikmati semuanya. Mereka adalah ladang rezeki dari sudut mana saja.
Dalam perjalanan ke kedai kopi Ammar, Zi teringat bundanya. Berbeda sekali dengan bu Handayani. Begitu bersemangat menyiapkan semua untuk acara sakral putrinya. Sampai masalah souvenirpun ada filosofi dan doa. Ah, bahagia rasanya.
Zizi mengusap butiran yang membasahi pipinya. Rasa bersalah hadir jika menginginkan memiliki ibu seperti bu Handayani. Tidak benar merasa tidak seberuntung mbak Amelia, putri bu Handayani. Setiap orang punya jatah hidup sendiri-sendiri. Dan itulah yang terbaik.
Jalan yang dilewati mulai berjejal dengan kendaraan bermotor. Bakda ashar jam pegawai pulang kerja. Jalan tikus ini menjadi jalan alternatif agar motor bisa bergerak cepat. Zizi mulai melambatkan laju motor bebeknya Kurang setengah kilo sampai di kedai.
*
Bu Asma Rahmawati, wanita yang melahirkan Ammar sudah menunggu di kantor. Ruang yang sama ketika Ammar mengkhitbah dulu. Untuk kedua kalinya jantung Zizi berirama tidak teratur. Perempuan manapun akan merasa grogi bertemu calon ibu mertua.
Ammar menyambut Zizi di depan pintu kantornya. Wajah sumringah dan segar terpancar. Bibirnya membentuk senyum penuh harap ke arah calon belahan jiwanya itu.
Zizi merasa tersanjung dan tersipu. Sepanjang hidupnya belum pernah bersingungan dengan laki-laki sedekat ini, kecuali Tahmid. Dia berusaha meredam gejolak hati yang semakin bergetar. Ammar begitu memperhatikan dirinya.
Salam takzim Zizi disambut hsngat bu Asma.
Zizi duduk dengan canggung. Rasanya aneh dilihat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Zizi terus berdoa agar bisa tenang!
Ammar mengambilkan air mineral dan beranjak. Dia tahu wajah Zizi yang terlihat tegang.
“Zi, kamu sudah makan?”
“Sudah Kak, terima kasih.”
“Ibu, Ammar ke depan dulu. Dan Zi, jangan sungkan sama ibu. Beliau begini.” Jempol kanan Ammar diacungkan sambil melirik ibunya.
“Iya Kak, Zi baik-baik saja, kok.”
“Kata Ammar tadi antar pesanan, di mana?” tanya bu Asma tanpa basa basi.
“Iya, di Maguwo situ Ibu.”
“Asesoris apa?”
“Bros untuk walimahan. Alhamdulillah selesai hari ini semuanya.”
“Sudah berapa lama usaha bros itu?”
“Dua tahunan Ibu. Dulu saya karyawan di tempat mbak Ayu. Lalu saya di suruh mandiri.” Jawab Zizi terdengar formal.
“Kamu hebat, ya. Mandiri, kuliah dapat beasiswa, rajin, pekerja keras. Pantas Ammar begitu memujamu.” Pujian bu Asma dengan senyum yang sulit diterjemahkan.
“Aduh Ibu, terima kasih pujiannya banyak sekali. Saya tidak bisa apa-apa, semua karena Allah memudahkan.”
“Nah, bahasa kaya gitu yang bikin Ammar semakin tidak bisa melupakanmu.”
“Ah, ibu bisa saja. Emm ... Ibu kabarnya gimana?” Zizi mencoba mengganti topik pembicaraan.
“Seperti yang kamu lihat, alhamdulillah sehat. Kalau kabar ibumu gimana? Sudah pulih, kan?” Ah, inilah pertanyaan yang menjadi pikiran Zizi dari kemarin.
“Alhamdulillah baik juga. Sebenarnya beliau sudah dinyatakan sehat. Diizinkan pulang dan beraktivitas normal, cuma ibu memilih di sana.” Berhati-hati Zizi memberi keterangan.
“Kenapa? Harusnya senang bisa kumpul dengan keluarga.”
“Ibu merasa nyaman dan bisa membantu menjadi pendamping suster. Kegiatannya banyak dan ada kepuasan batin, begitu katanya.” Perempuan itu menatap lurus ke arah Zizi. Rasa khawatir merayap kembali di hati Zizi.
“Zi, apa kamu yakin jika ibumu hadir di walimahan kalian tidak akan terjadi apa-apa?”
“Sejauh ini ibu baik dan merestui pernikahan ini." Ah, inilah yang ditakutkan Zizi.
“Bayangkan saja jika acara sedang berlangsung dan ibumu kambuh gimana? Maaf lo ya, ini mengingat beliau jarang berinteraksi dengan orang lain selain di rumah sakit itu.”
Zizi terdiam sambil mengigit bibir bawahnya. Dia tidak bisa memberi jaminan akan kekhawatiran bu Asma. Entahlah, rasanya ingin menangis saja. Hatinya tidak bisa mengelak bahwa bundanya memang orang ‘sakit’. Tetapi tidak rela juga bila ada yang berbicara seperti bu Asma.
Zizi bisa menangkap bahasa tadi dengan jelas. Apa yang harus kulakukan? Bisik hatinya tertahan. Kini hanya kuasa Allah yang membuatnya kuat.
“Sudah Zi jangan dipikirkan pertanyaan ibu. Sebentar ya ibu ke Ammar dulu. Oh ya, undangannya sudah beres, kan? Nanti biar diambil karyawan sini.”
“Sudah beres Ibu dan diambil kemarin pagi.” Terang Zizi sambil berdiri menatap bu Asma keluar ruangan.
Zizi menarik napas lega. Suara notifikasi wa beberapa kali terdengar. Tangannya mengambil ponsel yang sedari tadi tersimpan di tas.
Pesan masuk yang banyak dari pelanggan bros dan beberapa penggemar novelnya. Pakde dan Tahmid kompak menanyakan kapan ke Klaten. Rasa bahagia menyusup hangat.
Sebuah nomor yang tidak tersimpan memberinya ucapan selamat. Dari tulisannya seperti sosok yang mengharapkannya. Alfian! Tangan Zizi ragu untuk membalas pesan itu. Hatinya yang gundah ikumenceganya.
Tangannya berganti mengambil sebuah undangan warna hitam dipadu dengan gold. Bentuknya sederhana tetapi indah dipandang. Dengan rasa tulus dan cinta tertuang di sana.
Bibirnya tersenyum tipis. Rasa hangat menyadarkannya bahwa dia tidak bermimpi. Nama Ammar dan namanya tertulis rapi. Meski bu Asma belum bisa menerima sepenuh hati. Zizi bisa membaca dari roman wajah beliau.
“Zi, ini ada kripik sukun. Cobalah! kata Tahmid kamu suka yang gurih-gurih,” suara Ammar dari arah pintu.
“Eh, Kak iya terima kasih.Lho bukannya ibu nyari Kakak?”
“Iya sudah, itu ke sini lagi. Ibu nggak ngapa-ngapain kamu, kan?” Zizi tersenyum.
“Hayo ngrumpiin ibu. Kalian ini belum menikah sudah saling curhat ya?”
“Ammar nawari Zi sukun Ibu. Ya udah dilanjut lagi kalau belum selesai. Pesanan Ibu Ammar siapkan dulu.”
“Ya sudah sana! Ibu masih mau ngobrol sama Zi”. Allahu Akbar! apalagi yang mau di tanyakan ibu. Batin Zizi risau.
“Ayo Zi dimakan sukunnya! Ammar begitu perhatian pada kamu. Pada ibu juga begitu. Hampir tidak pernah berkata tidak.”
“Ibu berhasil mendidik kak Ammar dengan baik.” Puji Zizi tulus, betapa senang memilik ibu yang menyayangi.
“Zi, sudah lama berhubungan dengan Ammar?”
“Belum, ya hampir dua bulan ini. Zi malah nggak tahu kak Ammar punya usaha di sini.”
“Oh ya? Aneh ya.”
“Aneh? Gimana maksud Ibu?”
“ Ammar sering menceritakan kegiatanmu. Termasuk kamu suka menulis, kan?” Zizi mengangguk heran.
“Terus hampir tiap pekan ke rumah sakit Grasia, emm ... apalagi ya? Ah, pokoknya banyak cerita Ammar. Ibu sampai lupa.”
“Mungkin dari bang Tahmid Ibu. Saya malah tidak tahu.” Tanggap Zizi. Ih, apaan abang cerita-cerita sama kak Ammar, gemes hati Zizi.
“Bisa jadi ya? Tapi ada yang ibu mau tanyakan, ini penting buat ibu.”
“Apa itu Ibu?”
“Pertanyaan ini cukup kamu jawab dengan ya atau tidak,” Bu Asma meneguk air mineral sedikit.
“Zi, apakah kamu mencintai anak ibu?” Deg! Jantung Zizi seperti terpukul palu besi.
“Maaf, apa Ibu belum yakin dengan kesiapan saya mendampingi kak Ammar?”
“Bukan begitu, ibu akan merasa lega bila mendengar langsung darimu. Tidak sulit, kan?”
“Iya tidak sulit.” Zizi menggulang pernyataan ibu Asma dengan senyum tertahan.
Agak sulit Zizi mencari kalimat yang tepat. Bukan tanpa alasan bu Asma menanyakan ini. Padahal sebulan lalu beliau sudah melamarkan Ammar di depan pakde. Terus apa yang sebenarnya dimaui bu Asma?
“Zi, lama banget jawabnya.”
“Eh, iya Ibu. Insyaa Allah saya akan mencintai kak Ammar karena Allah semata. Agar niatan saya menikah tidak keliru. Maaf kalau jawabannya kurang berkenan Ibu.” Keringat dingin mulai membasahi tangan Zizi.
Seandainya boleh memilih mungkin lebih baik pingsan saja. Tidak mudah menata hati untuk jawaban tadi.
“Zi, ibu salut padamu. Artinya kamu mencintai Ammar dan tentu saja siap berkorban untuknya. Begitu bukan?”
“I iya Ibu, mohon restunya semoga saya bisa menjadi istri yang baik untuk kak Ammar. Aamin.”
“Syukurlah kalau kamu paham maksud ibu. Suatu saat kamu harus buktikan, bahwa kamu memang sanggup berkorban untuk Ammar! Ibu akan tunggu.” Tegas nada bicara bu Asmi. Entah permintaan atau putusan.
Masya Allah! Kenapa kalimat itu seperti vonis mati? Zizi berusaha tersenyum penuh hormat. Dia mengiyakan sambil menguatkan hatinya. Berharap perkataan bu Asma adalah untuk menyemangati niat sucinya.
Zizi begitu menghormati wanita yang bersiap pergi itu. Baginya, tidak ada hak untuk menghakimi hati orang lain. Secara lisan bu Asma merestui pernikahan ini. Sedikit asa yang mengganjal sanggatlah wajar, karena Zizi belum bisa sepenuhnya menaruh jiwanya pada Ammar.
Hari ini Ammar belum jodohnya. Maka tidak pantas jika semua yang dirasakan disampaikan ke Ammar. Termasuk ucapan bu Asma yang penuh makna.
“Ibu pulang dulu ya! Sebenarnya ada yang ingin ibu kenalin sama kamu. Tetapi sayangnya dia nggak bisa datang.”
“Oh ya? Saudara kak Ammar Ibu?”
“Bukan, dia itu pernah bantuin Ammar bikin usaha di Solo. Kebetulan anak teman ibu.Dulu sih, sempat berpikir mau jadikan dia mantu ibu. Eh, Ammar malah memilih kamu. Ya udah, ibu nggak bisa maksa Ammar, kan?” jelas bu Asma tanpa beban. Kemudian meninggalkan Zizi yang masih terpana untuk kesekian kalinya.
Tanpa disadari ada rasa bersalah menyesakkan. Apakah kak Ammar tahu dia mau dijodohkan? Berarti Vita berjasa dalam usahanya. Terus bagaimana dengan Vita?
Masya Allah, kenapa hamba ini? Desisnya.
Diiringi langkah cepat bu Asma keluar ruangan. Calon mertua dan menantu itu berpisah dengan sebuah pelukan. Perempuan asli Jawa Timur yang masih energik itu bergegas masuk ke mobil. Ammar menunggu di sana.
“Ibu langsung pulang, kan? Pesanan kripik tempenya di bagasi.”
“Iya, ibu langsung pulang. Ammar, ibu boleh undang Vita, ya?”
“Ibu yakin undang dia?”
“Kenapa? Kamu khawatir dia bikin onar? Nggak mungkin Vita seperti itu. Dia terpelajar. Justru ibunya Zizi yang bikin ibu khawatir.”
“Sudahlah, Ibu jangan berlebihan. Kondisi bu Ina sudah jauh lebih baik.”
“Bukannya kemarin dia kambuh lagi?” kata bu Asma sambil membuka pintu mobil. Romi, karyawan Ammar siap menyalakan mesin mobil.
“Sebentar Ibu, siapa yang cerita sama Ibu?”
“Jadi benar, kan? Mata ibu bukan hanya dua. Kamu pikirkan baik-baik Ammar. Jangan sampai keluarga kita kena malu karena masalah ini. Paham maksud ibu? Sudah ya, Assalamualaikum.”
“Walaikumussalam, hati-hati Romi!” pesan Ammar sambil melambaikan tangan.
Mobil bergerak meninggalkan parkiran kedai. Ammar masih berdiri mematung di sana. Padahal laju mobil hanya meninggalkan asap karbonnya. Rasa khawa tertuju pada Zizi. Perasaannya tidak enak, apalagi ibu menyinggung Vita juga.
“Kak, Kak Ammar!”
“Eh, Zi iya? Lho mau ke mana?” Ammar terkejut mendapati Zizi sudah berdiri di sampingnya.
“Pulang Kak, ada pesanan yang belum rampung. Rencananya mau lembur sama Dian nanti.”
“Zi, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Ammar dengan meneliti wajah Zizi.
“Seperti yang Kakak lihat, Zi baik-baik saja.”
“Kakak ini sungguh bodoh. Nggak mungkin juga kamu jujur semuanya sama kakak. Maaf, kakak hanya tidak mau kamu berpikir yang tidak-tidak. Itu saja!”
Zizi menyambut ucapan Ammar dengan senyum menenangkan. Kali ini dia yang berusaha meyakinkan Ammar.
“Rezeki, jodoh, dan mati sudah ada ketetapannya, Kak! Kembalikan saja pada Allah semuanya. Kalau kita di takdirkan berjodoh, Zi yakin apapun yang menghalangi akan bisa terlewati.”
“Alhamdulillah Zi. Kamu bikin kakak tidak bisa bicara apa-apa lagi. Ya, kita berdoa bersama, ya!” wajah Ammar tampak bahagia. Zizi bijak mengambil putusan.
“Aamiin.”