Sirine mobil berwarna putih meraung-raung. Jalanan pagi belum dipadati lalu lintas kendaraan. Tanpa rintangan berarti pengemudi melajukan mobil. Cuaca sedikit mendung, meski tanpa rintik menyerta tetapi cukup mewakili hati yang berduka. Siapapun tidak bisa menampik misteri kehidupan selanjutnya, yaitu kematian.
Ambulans diikuti sebuah mobil avanza maron. Seorang dara yang sepersekian detik mendapatkan kebahagian, menerima kenyaatan yang teramat mengejutkan. Sang bunda menghadap yang Kuasa.
Bu Ina meninggal karena perdarahan di otak. Beliau terjatuh di kamar mandi. Benturan di kepala yang menyebabkan perdarahan dan tidak tertolong jiwanya.
Inna lillahi wa inna illaihi rojiuun.
Entah tak terhitung berapa kali Zizi terus berdikir. Mengingat Asma Allah akan takdir yang harus dilakoninya. Mengumandangkan doa dalam hatinya, dan menyakinkan diri bahwa Allah sedang memberinya pelajaran hidup. Kesedihan yang kentara tidak membuat Zizi lepas kendali. Realita hidup yang dirasakan selama ini memberinya sikap tabah.
Zizi tidak menyangka bahwa semalam adalah pelukan terakhir bu Ina. Tatap harap seorang ibu yang mendambakan kebahagiaan putrinya masih lekat. Usapan lembut dan hangat begitu terasa di hatinya. Titik bening kembali mengalir meski tidak sederas subuh tadi. Ya, bunda menghadap Allah ketika Zizi membersamai kebahagiaannya bersama Ammar.
Tahmid yang duduk di belakang kemudi tidak tega melihat duka itu. Begitu cepat bahagia menepi di kehidupan Zizi. Tidak ada yang salah dalam takdir, begitu kata Zizi setiap kali merenungi hidup. Dan Tahmid paham betul apa yang sedang dirasakan Zizi saat ini.
Namun begitu tidak dapat dipungkiri, netra sendu adiknya menyimpan kedukaan yang mendalam. Tahmid berusaha membuat Zizi untuk kuat seperti belasan tahun yang lalu.
“Zi, mau pegang tangan abang?”
“Zi baik-baik saja Bang, tidak usah khawatir.”
“Alhamdulillah, abang yakin kamu bisa melewati semuanya. Aamiin.” Tahmid mengusap pelan pundak Zizi.
“Ada kabar dari Ammar?”
“Iya Bang, tadi telepon ibu juga harus di operasi.”
“Kalau itu abang tahu. Ada perkembangan lain nggak.”
“Belum tahu Bang, Zi belum buka hp dari tadi.”
“Zi, kamu yang kuat dan tabah ya! Abang yakin kamu bisa melewatinya. Doa yang terbaik untuk tante dan ibunya Ammar. Semoga operasinya lancar. Abang tidak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi.” Tahmid tidak henti memberi semangat.
“Insyaa Allah Bang, doa abang yang menguatan Zi. Mungkin Zi memang belum layak mendapat kata bahagia. Perjalanannya berliku dan mendaki, entah sampai kapan.”
“Allah telah memilihmu untuk menapaki jalan itu. Berarti kamu akan sanggup untuk melaluinya. Bukankah begitu, Zi?”
“Iya Bang benar, terima kasih untuk semuanya. Zi tidak bisa menjalaninya kalau sendiri. Eh, hp Abang bunyi ya, ini Zi ambilkan.”
“Siapa?”
“Mas Ammar, mungkin telepon Zi nggak bisa.”
“Angkat saja Zi!”
“Ya, hallo assalamualaikum Mas.” Suara serak Zizi menyapa sang suami.
“Walaikumussalam, Dik, di mana?” Nada khawatir jelas terdengar.
“Masih di jalan, kurang sebentar sampai rumah. Ibu gimana Mas?”
“Ibu sudah masuk ruang operasi. Mas di sini sama beberapa saudara. Dik, kamu baik-baik saja, kan? Mas tidak tenang di sini. Maaf, tidak bisa menemanimu. Ini menunggu ayah ke rumah sakit. Insyaa Allah nanti mas nyusul ke Klaten.” Suara Ammar tidak kalah parau. Laki-laki itu kurang istirahat.
“Zi baik-baik saja Mas, ini abang nemani juga. Silahkan diselesaikan dulu urusan ibu. Semua bisa memahami kondisi Mas, kita ikut mendoakan operasi ibu agar lancar. Aamiin.”
“Perasaan Mas tidak karuan Dik.”
“Kenapa Mas?”
“Kok kenapa? Masya Allah istri satu ini belum paham juga.” Gerutu Ammar keki.
“Mas, kita harus sabar yang sesabar-sabarnya. Kalau Mas tidak tenang siapa yang menenangkan istri Mas ini?”
“Ah, inilah yang Mas tunggu. Istri yang juga bisa menenangkan hati suami.”
“Aamiin, mau bicara sama abang nggak?”
“Enggak, cukup dulu. Nitip pesan saja, ayah ke klaten setelah kondisi ibu memungkinkan Dik, terima kasih. Assalamualaikum.” Ammar mengakhiri pembicaraan. Tahmid tak sabar mendengar berita dari rumah sakit.
“Zi, apa kata Ammar?”
“Ibu sudah masuk ruang operasi. Mas Ammar nanti ke Klaten tapi belum jelas jam berapa Bang. Ayah juga nunggu kondisi ibu. Dia khawatir banget tadi.”
“Wajarlah Zi, dia sekarang suamimu. Disaat seperti ini sudah semestinya dia ingin di dekatmu. Bersyukur adik abang ini kuat, malah bisa menguatkan suami.”
“Semua berkat abang. Zi tidak akan lupa itu.” Tahmid tersenyum tipis, perkataan Zi bukan hanya sekali ini diucapnya.
Zizi bersiap turun dan bergabung dengan keluarga ayahnya di dalam. Hatinya menahan kepiluan melihat persiapan untuk hari H nya besok. Sungguh pemandangan yang kontras. Jenazah sang ibu disemayamkan di rumah yang berhias bunga kebahagiaan. Tak kuasa Zizi menggigit bibir bawahnya dan menahan agar mendung yang masih mengantung tidak luruh.
“Zi, ayo turun. Pegang tangan abang kalau kamu butuh.”
“Iya Bang, Zi hanya berpikir bunda masuk rumah ini dengan hiasan yang indah dalam keadaan seperti ini.” Ah, beberapa tetes butiran itu jatuh.
“Sini! usap air matamu Zi. Kasihan bunda kalau kamu terus bersedih. Ingat doakan agar bunda mendapat tempat di sisi Allah. Itu yang terpenting.”
Zizi menghela napas, mencoba memberi oksigen yang akan memenuhi energinya. Hari ini akhir kehidupan bunda di dunia. Kini tugasnya sebagai anak hanya satu, mendoakan yang terbaik untuk bunda agar dilapangkan kuburnya.
*
Selepas prosesi pemakaman, Zizi meminta izin budenya untuk ke kamar. Tubuhnya terasa seperti memikul beban berkilo-kilo. Sakit, lelah dan capek yang menumpuk-numpuk. Rebahan di ranjang sedikit membantu menghilangkan penat. Maksud hati mau membuka ponsel, tetapi mata tidak bisa diajak untuk kompromi. Zizi tertidur sembari memegang benda bersarung hitam itu.
Zizi benar-benar terlelap. Kehadiran seseorang yang mengkhawatirkannya tidak juga membuat terjaga. Kerinduan Ammar lekat dengan menatap wajah Zizi. Tak terasa pipi Ammar basah, ketika tangan dinginnya mengusap pipi sayu Zizi. Guratan kesedihan begitu membekas.
Tangan Zizi meraih dan mengenggam erat tangan Ammar, dengan mata yang masih terpejam. Ammar tidak bisa menahan isakannya. Zizi membawa tangan itu persis seperti semalam. Mencari rasa aman dari rasa takut dan gelisah.
Kecupan hangat penuh kasih mendarat di kening sang istri. Sedikit memberi rasa tenang di hati Ammar. Dia baru mau memulai untuk membuat Zizi bahagia. Takdir membawa Zizi pada kesedihan kembali.
“Mas Ammar?” bisik Zizi dengan mata mengerjap.
“Tidurlah lagi, mas akan jaga kamu. Maaf baru bisa menemani sekarang.”
“Iya, kenapa pipi Mas basah?” Zizi mulai membuka mata sepenuhnya. Dicobanya untuk bangkit dan duduk ketika tangan kokoh itu membawanya dalam pelukkan.
“Mas nggak kenapa-napa. Bahagia lihat Zi baik-baik saja. Terima kasih membuat mas bisa lebih kuat menghadapi semuanya.”
“I iya, sama-sama. Tapi tolong jangan kaya gini Zi susah bernapas.” Pelukan itu menguar dan sudut bibir Ammar tertarik ke atas.
“Dipeluk suami nggak mau.”
“Mas sih kenceng banget meluknya! Kabar ibu gimana?” Zizi mengahadap lurus ke arah Ammar.
“Alhamdulillah, operasinya lancar. Usus buntunya diangkat, sebenarnya ibu sudah merasa sejak kemarin. Tetapi di tahannya, dikira masuk angin biasa.”
“Alhamdulillah, syukurlah.” Zizi berubah menunduk, tangannya masih berpaut.
“Zi, kenapa?”
“Allah sungguh Maha Adil Mas, ketika bunda dipanggil Zi diberinya ganti seorang ibu. Semoga nanti bisa berbakti menjadi anak yang baik.”
“Dan istri yang terbaik untuk Ammar, aamiin.” Zizi merenggut tanpa suara. Hatinya membalas mewakili kalimat Ammar.
“Besok ibu tidak bisa datang, karena harus menginap dulu semalam. Yah, kita tidak ada yang tahu teka teki Allah. Justru ibu yang tidak bisa menghadiri acara besok. Dik, maafkan ibu ya?”
“Mas Ammar, ibu tidak salah apa-apa. Ibu akan bangga kalau Mas tetap menjadi mas yang dulu meski sudah menikah. Selalu ada ketika ibu butuhkan.”
“Terima kasih ya Allah, Engkau turunkan istri berhati mulia ini.” Rona kemerahan tidak bisa Zizi sembunyikan. Tangan Zizi mengambil kerudung di atas meja dekat ranjang.
“Lho, Zi dari tadi nggak pakai jilbab ya, Mas?” Katanya panik dengan mimik lucu.
“Ini suamimu Zi, sini mas pakaikan. Setelah itu keluar kamar dan makan. Kata Tahmid dan bude sedari tadi perutmu kosong. Mas nggak mau pas acara kamu pingsan.”
Zizi seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut dan menurut. Ya, memang harus demikian adanya. Hatinya kembali bangkit dengan hadirnya Ammar. Sungguh, Allah memberi pengganti cahaya di hidupnya. Dia kini menyerahkan sepenuh jiwanya untuk seorang Ammar.
Bayangan ibu Asma di pelupuk mata. Zizi berdoa agar bisa menjadi menantu yang baik meski dia belum tahu apa yang akan dilakukan bila bertemu bu Asma. (BERSAMBUNG)
*
[16/1 15:53] Supriyono: #WS_Lestari
#KABUT_DISENYUM_HAZIMA
Bag. 10 #Cerita_Pengantin
Tangan kedua insan itu berpaut. Sebagaimana hati dan jiwa yang telah diikrarkan. Zizi sungguh luar biasa, ketulusannya terpancar pada kecantikan wajahnya. Riasan yang tidak mencolok tetap membuat wajah Zizi bersinar. Mendung yang kemarin menguncang hidupnya, perlahan tersapu oleh genggam erat Ammar.
Senyum yang menghias di bibir pengantin memberi rasa haru. Tidak sedikit para tamu yang menitikkan air mata. Dukungan berupa pelukan dan doa menyerta untuk mempelai yang sedang berduka itu. Inilah realita hidup, bahwa manusia hanya makhuk yang sekedar menjalani titah Sang Penguasa Semesta. Bunda Zizi meninggal dunia dan ibu Asma harus dirawat karena usus buntu yang dideritanya.
Lepas dhuhur acara walimahan berakhir. Hanya beberapa tamu undangan yang terlihat, selain kerabat keluarga pak Ilham ada teman-teman Ammar yang memberi selamat.
“Bro, nemu bidadari di mana, aku nggak nyangka kamu pintar juga cari istri.” Deni teman kuliah yang juga asli Jogja serius menyelidik.
“Memang barang? Nemu. Enak saja, yang jelas kita sudah berjodoh sejak kecil.”
“Kamu pacaran sejak kecil?”
“Siapa yang bilang pacaran?” Ammar mengarahkan tinjunya ke Deni.
“Berdoa sama Allah mohon petunjuk agar diberi jodoh yang terbaik.”
“Itu mah tahu Mar, berdoa tanpa ihktiar mana ada hasilnya.”
“Nah, itu tahu. Deni, Deni kita nunggu undanganmu lho, iya kan Raf?” pemilik nama Rafi mengiyakan dan berniat pamit. Sang istri mulai terlihat lelah, maklum sedang berbadan dua dan mendekati kelahiran.
“Mar, semoga lekas nyusul istriku. Biar tambah seru kalau ngumpul.”
“Aamiin, terima kasih Bro. Sebentar aku panggil Zizi dulu.”
Lambaian tangan Ammar dan Zizi melepas kepergian Rafi dan istrinya. Deni yang masih setia menunggu jodoh, ikut permisi meninggalkan Ammar yang mengantar sampai halaman. Zizi berjalan mendahului Ammar, tepat saat Ammar menarik tangannya dan berbisik.
“Tadi didoakan Rafi cepat nyusul istrinya, di aamiini yang!” Reaksi Zizi membuat Ammar mengaduh. Dicubitnya pinggang suami dengan mata melebar.
“Sakit Dik, awas ya nanti malam.”Ammar meringis senang bercampur senang.
“Mas, apa sih? Sebaiknya kita bersiap ke rumah sakit. Ibu pasti sudah nunggu.”
“Iya nyonya Ammar, siap mengantar.” Zizi terus berjalan dengan senyum yang tertahan. Dia tahu Ammar ingin menghiburnya.
Berangsur rumah pakde kembali seperti semula. Ayah Zizi sore ini juga bertolak ke Lahat. Pengantin baru itu bersiap ke rumah sakit. Nanti malam bu Asma diizinkan pulang.
Zizi sudah rapi dengan gamis hijau dengan jilbab hijau tua, penampilannya serasi dan syari. Beberapa saat dia mematut di cermin.
Ternyata Ammar juga suka warna hijau. Laki-laki yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Zizi, kini berdiri tepat di belakang Zizi. Tangan itu memberikan rasa hangat dengan melingkarkan ke pinggang istrinya. Zizi menyambut dengan memegang erat tangan kokoh itu.
“Sebentar seperti ini Dik! Mas merasa tenang dan nyaman."
“Iya Mas, terima kasih untuk semuanya.”
“Mas belum melakukan apapun untukmu.”
“Sudah dan banyak, bukankah dengan mengingatkan kebaikan suami akan menguatkan ikatan ini? Zi, tahu kita punya kelemahan, karena tidak ada manusia yang sempurna selain Rasullullah. Tugas kita untuk saling melengkapi dan menguatkan. Mas setuju bukan?”
“Sangat setuju, ayo bersiap untuk tugas selanjutnya!” lirih suara Ammar. Zizi berbalik menatap Ammar dengan alis hampir bertaut.
“Mas, kita mau ke rumah sakit, jangan macam-macam!”
“Iya, tugas merawat mertua Dik, sensitif banget. Ini mas kasih balasan cubitan tadi.” Sigap Ammar menarik tubuh Zizi dalam rengkuhnya.
Ah, aliran listrik itu menyusup membuat Ammar bergeming sesaat. Helaan napasnya mulai menyebar ke tengkuk Zizi. Kecupan di puncak kepala mengakhiri sentuhan hangat Ammar. Zizi hanya memejamkan mata dan memberi ruang Ammar untuk membahagiakannya.
“Ayo berangkat Mas! Keburu magrib nanti.” Zizi mengurai dekapan Ammar.
“Iya, kita berangkat!”
Perpisahan sementara dengan keluarga Tahmid tak urung menyisakan air mata. Bude memeluk keponakannya dan memberi nasehat kepada Ammar. Keduanya duduk berhadapan dengan pakde dan bude di ruang tamu. Tidak ketinggalan Tahmid juga ikut mendengarkan wejangan orang tuanya.
“Nak, bude nitip Zi. Tolong jaga dia dengan bak. Hari ini kamulah miliknya, dan Zi jadilah istri yang shalihat untuk suamimu. Menikah berarti siap mendapat masalah. Keyakinan sama Rabbul alamin akan memudahkan semuanya. Bude mendoakan kalian.”
“Aamiin, insya Allah bude. Mohon doa restunya.” Kemudian pakde yang berbicara.
“Ammar, pemimpin yang baik itu bukan mencari menang atau tidak mau kalah. Kalian bukan sedang bertarung, tetapi sedang berjuang bersama-sama. Jika ada yang terkena api salah satunya harus menjadi air. Paham maksud pakde, kan?”
“Iya Pakde, insyaa Allah. Mohon dibimbing dan ditegur bila saya tidak amanah.”
“Orang tua tetap orang tua, bisanya memberi masukkan. Semua kembali pada kalian.” Tegas pakde dengan nada kalem.
“Pakde, bude Zi hanya bisa mengucapkan terima kasih. Meski itu tidak cukup untuk menebus semua kebaikan keluarga ini. Zi sangat beruntung memiliki keluarga yang menyayangi dan membesarkan Zi. Maafkan kehkilafan yang Zi lakukan,” suara Zizi semakin berat. Ammar melihat sudut mata istrinya yang basah.
“Zi, bude bersyukur. Semua karena kesungguhan dan keihklsanmu. Bude juga minta maaf ya. Terkadang keterlaluan padamu.”
“Tidak bude, Zi tahu kalau bude sayang sama Zi.”
“Sama abang Zi?” Tahmid ikut nimbrung
“Abang ? kenapa tanyanya gitu. Zi khusus berdoa untuk jodoh Abang.”
“Nanti pakde kabari Zi, alhamdulillah sinyalnya sudah kuat ini.”
“Oh ya? Ih Abang curang, Zizi nggak dibilangi.” Spontan Zizi mendekati duduk Ammar dan menabok pundak Ammar.
“Aduh, sakit Zi.”
“Biarin, Abang nggak cerita sama Zi. Siapa gadis itu? Abang yakin memilih dia, salihah kan, orangnya?” Zizi seperti biasa tidak sabar dengan pertanyaan borongan.
“Zi, dilihat suamimu itu! Ini anak kelakuannya nggak berubah. Nanti malam nggak ditemani sama Ammar.”
“Abang! Awas ya.” Zizi tersipu kembali memukul Tahmid dan beranjak dengan bibir mengerucut lucu.
Ammar melepas senyum melihat tingkah Zizi yang manja pada Tahmid. Rasa tanggung jawab yang besar membuatnya yakin menapaki jalan bersama Zizi.
Tangan itu meminta restu dan membawa Zizi untuk mengarungi bahtera. Kehidupan yang akan dibangun dengan cinta, kasih dan sayang. Mencintai karena Allah, dan mengabdi sebagai hamba yang diridhai dalam iman.
*
Malming alias malam minggu berdampak pada padatnya lalu lintas. Mobil berjalan padat merayap hampir di sepanjang jalan.
Entah dari mana sugesti malam minggu adalah malam yang panjang. Menciptakan suasana yang dinanti para pencari cinta atau yang tengah di mabuk cinta. Cuaca yang kemarin mendung telah sirna. Pertanda baik untuk menyusuri geliat malam yang panjang.
Ammar berulang kali harus menekan rem, agar bisa menjaga jarak dengan mobil di depannya. Zizi mulai terlihat gelisah. Matanya beralih menatap layar hp sebentar, banyak ucapan selamat dari pelanggan dan teman kuliah.
Termasuk beberapa pria yang pernah ingin mengkhitbahnya. Bibirnya tersenyum ketika membaca salah satu pesan dari pria itu.
“Bahaya nih,” celutuk Ammar tanpa menoleh.
“Apa yang bahaya Mas?”
“Itu barusan senyum sendiri.”
“Oh, ini teman kirim ucapan selamat. Bikin Zi ketawa.”
“Teman apa teman?” Ammar tetap menatap lurus.
“Memang kenapa? Pertanyaannya aneh gitu. Ini si Khalid, teman komunitas menulis di kampus Mas. Masa dia nulis ‘Zi, awas lho siap-siap aku culik! Aku patah hati’ kurang kerjaan ini anak.”
“Dulu dia naksir sama kamu, Dik?”
“Dia itu norak orangnya, bukan hanya naksir. Tingkahnya bikin Zi malu.”
“Ngapain dia?” Ammar semakin tertarik.
“Bener nggak papa Zi cerita?” Ammar mengangguk yakin.
“Di depan sekretariat dia bilang cinta sambil jongkok baca puisi. Isi puisinya memang romantis dan bikin meleleh sekaligus menyebalkan!”
“Sebal atau sebal banget?”
“Sebal ya Mas, teman-teman pada bersorak. Mereka meminta Zi menerima Khalid. Memang Zi apaan. Waktu itu langsung saja Zi pergi dan nggak mau bicara sama anaknya.”
“Wah ... nggak nyangka ya, istri mas banyak fansnya juga.”
“Ngeledek? Bukannya Mas yang dikejar-kejar banyak cewek. Itu siapa namanya emm ... mbak Maya. Teman SMA Mas yang pintar matematika dan menyanyi.”
“Masih ingat? Jangan-jangan waktu itu kamu cemburu sama Maya.”
“Sorry ya, tidak ada kamus cemburu dalam diri Zi.”
“Beneran nih?” Ammar tambah semangat menggoda.
“Terserah Mas kalau nggak percaya.” Zizi terlihat jutek dan memandang ke luar jendela mobil.
“Mana tanganmu Dik!”
“Tangan?”
“Iya, mana sini!” dengan tidak mengurangi konsentrasinya Ammar mengenggam tangan Zizi. Diambilnya dan dikecup lama.
“Mas suka kalau kamu cemburu. Tetapi cemburu yang berbeda.”
“Maksudnya?”
“Pernah baca kisah istri Nabi atau para sahabat?”
“Pernah, kisah yang mana Mas?”
“Kisah seorang istri yang menyambut suaminya dengan hangat sewaktu pulang jihad. Padahal putra mereka baru saja meninggal dunia. Sang suami sempat bertanya apa yang terjadi dengan putranya. Istrinya menjawab dengan senyum bahwa anak mereka sedang tertidur pulas. Apa yang terjadi kemudian? Mereka berhubungan suami istri, dan tidak lupa berdoa agar ibadah itu diberkahi Allah. Istri melayani dengan sebaik-baiknya hingga suaminya merasa bahagia. Dik, tahu nggak kelanjutannya?” tanya Ammar menatap mesra Zizi sekilas.
“Allah mengganti putra yang meninggal dengan seorang putra buah cinta mereka siang itu. Bahkan putranya itu menjadi seorang penghafal Al Qur’an, yang kelak mengangkat derajat orang tuanya di surga. Benar, kan Mas?”
“Alhamdulillah, seratus untuk istri mas. Nih hadiahnya.” Kecupan lembut di tangan mungil itu hampir tanpa jeda. Zizi sampai merasakan desakan di dadanya yang berdebar hebat.
"Zi, kira-kira bisa nggak kaya sahabat tadi?"
"Insyaa Allah, yang penting berusaha."
"Aamiin."
“Dik, tahu nggak cerita Khansa, seorang penyair dan ibunda para syuhada?”
“Tahulah Mas, beliau dinobatkan sebagai seorang penyair paling mahir di tanah Arab. Setelah masuk islam ia berkata, 'dulu aku menangisi kehidupanku, namun sekarang aku menangis karena takut akan siksa api neraka' itu yang Zi tahu.”
“Wow, sampai ucapan beliaupun kamu hafal. Atau jangan-jangan kamu mengidolakannya?” Ammar merasa takjub dengan ingatan Zizi.
“Dulu waktu di pondok ada pelajaran shiroh Mas. Tokoh syahidah ini seakan memberi cahaya di hati. Al Khansa berubah total setelah masuk islam. Ujian yang dialaminya menjadi kesabaran yang didasari iman dan dihiasi oleh ketakwaan. Hingga tidak merasa sedih ketika kehilangan apa pun dari kenikmatan di dunia ini. Maaf Mas.”
Ammar melepas gengamannya, ketika Zizi menarik tangan itu agak paksa. Tangan Zizi beralih ke pipi yang tanpa diketahui Ammar sudah bersimbah tetesan air mata.
“Zi, sering begini kalau mengingat kisah Al Khansa.”
“Maafin Mas kalau bikin Zi sedih.” Ammar merasa menyesal melihat Zizi bersedih.
“Enggak pa pa Mas, justru membuat Zi sadar. Kalau apa yang Allah berikan ke Zi sangat jauh dari ketulusan dan pengorbanan. Beliau contoh yang luar biasa merelakan dengan ikhlas keempat putranya untuk syahid.”
Ammar tiada henti bersyukur mendengar penuturan Zizi. Hatinya ikut tersentuh dengan tenggorokan yang tercekat. Diusapnya pipi Zizi dengan lembut. Dengan penuh kasih Zizi menyambut usapan itu dan menyatukan jemarinya.
“Terima kasih, Mas juga suka dengan bacaan yang seperti tadi. Btw sejak kapan Mas suka shiroh shahabiyah?” Zizi menoleh ke arah Ammar yang pura-pura cuek.
“Apa tadi? Oh itu rahasia dong.”
“Mas Ammar suka gitu ya, kalau Zi serius.” Derai tawa Ammar menambah gemas Zizi dan sebuah pukulan mendarat di lengan kiri Ammar.
“Auw, hei sudah berani pukul suami ya. Tunggu balasan Mas nanti malam.”
“Balas saja, Zi nggak takut.”
“Ya memang nggak boleh takut. Kalau istri takut suami nggak ada itu keturunan anak adam di dunia sebanyak ini.”
“Mas Ammar!” Zizi tidak peduli Ammar yang sedang mengemudi.
Tangan itu mendarat lagi di lengan Ammar berkali-kali, hingga Ammr mengunci dengan memegang tangannya kencang. Seketika tubuh Zizi terjatuh mengenai Ammar. Ah, detak jantung keduanya berdegup saling menyahut.
Zizi seperti dalam mimpi ketika Ammar berusaha meraih puncak kepalanya. Hanya usapan lembut tangan Ammar yang dirasai.
“Dik kalau ngantuk sandaran saja di lengan Mas sini.”
“Boleh?” Zizi membetulkan posisi duduknya, getar dihatinya dibiarkan mengembara.
“Lebih dari boleh. Lengan ini hanya kamu yang berhak bersandar.”
Jawaban Ammar bagai musafir yang mendapakan air karena dahaga. Zizi musafir yang telah menemukan ruang berteduh.
Perlahan Zizi melepas lelahnya di pundak Ammar. Seperti hari-hari lalu, hangat dan nyaman. Dengan memejamkan mata dan mendengarkan suara hatinya yang berhias wajah Ammar. Sesekali tangan kokoh itu mengusap pipi yang ikut menghangat.
Ammar mengemudi tanpa suara lagi. Seperti istrinya, dia juga menghadirkan sosok Zizi menjelma di hati dan sanubarinya.
(BERSAMBUNG)
a Worldle
aaron jones
agen grosir lipstik wardah murah cirebon
ambulans cirebon gratis
Anne Heche
Artemis launch
BABYDOLL
Banana
Banana Boat sunscreen recalled
Baylor
Baylor basketball
berita
bertuah
Betty White birthday
Bibit
binahong
Biodata
Bitcoin price
blaze pizza
Boat
Bob Saget dead
Boston Celtics
Brady Manek
Brentford vs Man United
Brittney Griner
brownies
bunga hias
Cain Velasquez
cctv
Cerbung
CERUTY
Chicago Bears
Cirebon
Cleveland Guardians
Communications
Cowboys
cuan
daftar blokir
Daylight savings time
dongdangan
dongdangan murah cirebon
Duke vs UNC
emas
English
Epic
F1
Florence Pugh
Free COVID test kits
GA
Gamis
ganggang
Gas
gerobak
gerobak murah cirebon
Ghost of Kyiv
grosir
Haji
Hellraiser
herbal
Hurricane tracker
Ian Book
Indonesia
info
info sehat
Instansi
IPA
Irlandia
is dead at 73
Islami
Ivana Trump
Ivana Trump is dead at 73
Japan
Japan earthquake
jasa bebersih
John Easterling
John Madden
kain
Kanye West
kap lampu
kap lampu hias
Katie Meyer
kelor
khitan
khitan cirebon
khitan gratis
khitan massal
Kim Potter guilty
korma
kosmetik murah cirebon
kost
kucing
kue kering
kue lebaran
kuliner
kurma
lampu hias
legend
Lululemon
Lunar New Year
Manchester United
Marry Me
Martin Shkreli
Meagan Good
Mega Millions
Mike Nesmith
modem
Monkeypox
Nathan Chen
National Coffee Day 2022
NCAA basketball
neo
news
NFL
north carolina basketball
nostalgia
obat herbal
orang hilang
orang iseng
orang pertama
parabola
PASHMINA
penipuan
Perusahaan
Pi
Pi Day
pi day 2022
pi pizza deals
pie
pie day
pijat
pijat lulur cirebon
pijat totok cirebon
pisang sale
Pittsburgh bridge collapse
piyahong
Pokemon
poles mobil
poles motor
Powerball
PPA
PPA Cirebon
PPA Gathering
PPA GJB
PPA Mobil Kemanusiaan
PPA Sekolah Cinta
PPALC
PPALC Cirebon
Prediksi Skor
Premier League
PREMIUM
property
psg
pulsa
pusaka
pusat pisang sale murah
Queen Elizabeth dead
quota
Raiders
recalled
Recession
Rental Mobil
Rihanna
Ronnie Spector Dead at 78
router
rusia
Russell Wilson
Samsung Galaxy S22 Ultra
SD
Sean Connery
Sekolah
sekolah alam
Sembako
seragam pramuka muran cirebon
Service
servis printer cirebon
Shane Warne
Silsilah
sirih
sirih hijau
sirih merah
SMA
SMK
Snake
soal
soal tanya jawab
software
Solsticio de verano
Sport
Steelers
sunscreen
susu etawa
Tampa Bay Buccaneers
tanah
Telur
Test TOEIC
Texas Longhorns Football
TK
Today 8A
toko emas cirebon
Tom Brady
Tommy Lee
Tottenham Sevilla
Tower of Fantasy
Tullamore
tumbuhan
TV Murah
Tyreek Hill
UFC 278
Umroh
UNC
unc basketball
unc baylor
unc vs baylor
upvc
vaksin
vape
Virgil Abloh
what is pi
wife of Donald Trump
wifi
Will Smith
Women's figure skating
Zelensky
Михаил Зеленский
토트넘 세비야
カムカムエヴリバディ
マスターデュエル
全日本大学駅伝
千と千尋の神隠し
地震
多発性骨髄腫
日本シリーズ
石原さとみ
神田沙也加
藤子不二雄A
Minggu, 21 November 2021
KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 9
#DUKA_BAHAGIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar