#Menghilang
Ammar sedang mempersiapkan catatan untuk kebutuhan kedai kopinya. Dalam sepekan kedepan dia berniat fokus pada acara walimahan. Pasca menikah Ammar berencana langsung menempati rumah mungil di kampung dekat kedai kopi. Sebuah istana kecil hasil kerja kerasnya selama ini.
Membangun keluarga yang sakinah penuh keberkahan. Tempat mencari kehangatan jiwa dan mencurahkan kasih sayang penuh cinta. Membahagiakan Zizi adalah wujud impian yang tersimpan, yang tertanam di sudut hati yang paling dalam.
Dua hari menjelang akaq nikah sungguh jauh dari yang dibayangkan. Ammar yang biasanya mudah mengontrol hati dan pikiran, entah mengapa tampak mudah tersinggung dan pelupa!
Beberapa karyawan terkena imbas karena bekerja tidak sesuai petunjuknya. Termasuk Roni sebagai tangan panjangnya.
Pria itu tersenyum kecut. Baru saja ditegur Ammar dengan bahasa yang bikin jantung kalang kabut.
Ada seorang pelanggan mengomplain rasa tempe mendoan yang agak kecut. Padahal selama ini tempe mendoan adalah gorengan favorit di kedai kopi bernuansa ‘pawon’ itu. Tanpa bertanya apa dan kenapa, Ammar mencecar Roni seperti pesakitan tanpa diberi kesempatan berbicara. Sebenarnya sangat wajar, karena Roni yang bertanggung jawab mengurusi pengadaan barang.
Sedang Si Arga, koki jebolan tehnik boga itu juga dibuat bungkam tak berkutik.
“Ar, di kampus nggak diajari ngetes tempe mau busuk? Masa sudah lulus kalah sama mbak Parmi! Urus semua yang tadi kamu bikin!” Arga setengah berlari memberesi tempe mendoan yang tersaji.
Ah, memang lagi apes. Baru kali ini tidak ngecek kondisi tempe, eh pas pak boss sedang banyak pikiran. Hibur Arga dengan rasa sesal.
Saat itu juga semua tempe mendoan yang di produksi bersamaan, ditarik dan diganti dengan yang baru. Sementara Roni mendapat peringatan keras atas keteledorannya itu.
Masih bersyukur tidak potong gaji.
Ah, si boss masih punya hati yang baik. Roni ikut membatin.
Di kantor, Ammar menatap beberapa lembar undangan di meja tanpa ekspresi. Undangan yang didesain Zizi memberi nuansa haru yang membuat perasaannya menghangat. Emosinya luruh mencoba mencari celah atas sikap kasarnya pada karyawan.
“Wudhu Kak biar setannya pada kabur kena air suci,” bisik Zizi dekat di telingamya.
Ammar mendengus, itu hanya khayalannya saja. Begitu membaca nama Zizi, kenapa langsung suaranya hadir meredam panas pikiran tanpa sebab. Apa mungkin malaikat mengingatkan lewat suara Zizi? Dengan semangat diseretnya kaki beralas sandal japit ke kamar mandi. Ya, wudhu itu lebih baik!
Tak terasa lepas menghadap sang Rabb hati mulai tenang dan memang harus tenang! Memang begitulah hakikat mencegah perbuatan keji dan munkar. Akan hilang makna shalat bila tidak diiringi dengan langkah kongkrit. Bentuk ‘ih dinash shirathal Mustaqiim’ dalam setiap rakaat yang dibaca. Termasuk menahan nafsu marah bila menyelesaikan masalah. Mendadak Ammar merasa malu mengingat sikapnya ke Roni dan Arga yang tak bijak.
Dia menyandarkan kepala di kursi. Sepekan tidak bertemu Zizi membuatnya susah bernapas. Benar-benar oksigen tidak mampu mengurai rasa rindu yang menyusup. Sungguh ini sebuah ujian yang seharusnya tidak merisaukannya.
Ammar tersenyum konyol. Belum jadi kekasih halal sudah menggunung kangennya, apalagi nanti. Ah, bisa dipastikan dalam sedetik tidak akan lepas dari wajah teduh itu. Dalam setiap napas hanya oksigen yang serupa Zizi yang membuatnya bisa membuka mata setiap fajar. Hemmm... indah dalam setiap kerinduan.
Benarlah kiranya hadist Rasulullah yang mengisyaratkan, bahwa sebaik-baik keindahan di dunia adalah istri salihah. Jika dipandang menentramkan, dan bila dirasakan akan menyejukkan jiwa. Ammar menghela napas lagi sembari beristiqfar. Nalarnya hampir terbelenggu hasrat jiwanya yang sempat terantuk batu.
Zizi sengaja meminta untuk tidak bertemu sampai hari suci itu tiba. Alasannya juga bisa diterima. Untuk menjaga kebaikan semuanya, yang jelas karena secara hukum belum halal! Masya Allah Zizi begitu berhati-hati dalam melangkah. Tidak ingin mengotori hati meski dengan bakal suami.
Ammar yang semula rada keberatan, menawar menggunakan wa untuk komunikasi. Zizi yang keukeh akhirnya mengalah. Tentu saja dengan catatan jika ada masalah yang penting atau mendesak alias darurat. Pun itu bisa bertemu.
Alhamdulillah, hampir seratus persen semua pernak pernik persiapan akaq dan walimahan rampung. Sebagian diurus Ammar dan sebagian Tahmid dibantu Zizi. Orang tua tahunya beres, yang terpenting doa dan restu mereka. Sengaja ini dilakukan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bukannya banyak kasus karena kecapean, justru di hari H orang tua malah harus menginap di rumah sakit.
Ammar membuka memori persiapan yang belum kelar. Ya, tinggal sauvenir yang dibuat Zizi sendiri. Pekerjaannya belum tunts karena satu karyawan yang membantu, mbak Arum cuti melahirkan. Makanya Zizi sendiri yang memaksa turun tangan. Ammar sempat mengkhawatirkan Zizi yang lembur beberapa hari ini. Bukan tidak Mungkin Zizi malah tidak berdaya saat ikatan suci diikrarkan. Ah, Ammar mulai menyadari sifat keras kepala seorang Zizi.
Perasaan aneh menyusup tanpa sebab. Sejak subuh Zizi tidak bisa dihubungi. Pesan wa terakhir dilihat jam sebelas malam. Hampir masuk dhuhur tetap saja ponselnya belum aktif. Ammar mulai tidak tenang. Mbak Putri dan Dian yang menempati rumah produksi juga tidak bisa dihubungi.
“Bos, permisi,” Herman masuk diikuti seorang perempuan.
Ammar bangkit dan mempersilahkan tamunya. Tetiba ada firasat yang kurang mengenakkan. Demi melihat siapa tamunya.
“Dian?”
“Iya Pak, maaf kalau saya nggak ngabari dulu mau ke sini. Hp saya error.”
“Iya ngak papa, Zizi?” tanya Ammar tidak sabar. Dian berusaha tenang, sambil menyerahkan barang yang dikemas duz ukuran besar.
“Nah itu, mbak Zi hpnya nggak aktif. Padahal pamitnya cuma ke pasar. Saya kira ada di sini Pak.”
Ammar duduk tanpak cemas. Hampir jam dua siang. Kemana kamu Zi?
“Oh ya, mas Tahmid juga telepon tadi. Menanyakan kapan mbak Zi yang balik Klaten."
“Jam berapa Tahmid telepon?”
“Sebelum saya ke sini, Pak, “ jelas Dian berubah menjadi ikut cemas. Berarti Zizi tidak ke Klaten.
“Dian tahu nggak, biasanya Zizi ke mana maksudku dia punya tempat favorit atau teman gitu?”
Gadis berkerudung biru tua itu mencoba mengingat. Memorinya tak menyimpan apapun selain rumah sakit Grasia dan kios jualan.
“Gimana Dian?”
“Saya tahunya cuma di rumah sakit dan kios. Tapi hari ini kios tutup Pak.”
“Oh gitu. Ya Allah ke mana kamu Zi?” bisik Ammar tetapi jelas didengar Dian.
Ruangan tersapu tiupan angin dari luar. Sedikit memberi rasa sejuk di panas yang mulai mereda. Seorang Ammar berusaha bersikap tenang walau hatinya ingin berlari. Mencari ke mana saja Zizi berada.
Bayangan pengantin hilang dihari pernikahan menambah gemuruh di dadanya. Rasanya tak sanggup bernapas bila ini terjadi. Tetapi apakah Zizi sekerdil itu? Lalu kenapa pergi tanpa keterangan yang nggak jelas begini?Ah, Ammar menutup wajahnya dengan cemas tingkat dewa.
Wajah Dian berubah harap seperti menemukan jalan keluar dari masalah. Secarik kertas diberikan pada Ammar.
“Pak Ammar, saya ingat sesuatu.”
“Iya, apa itu? Ini nomor siapa?"
“Mbak Zi sering berkunjung ke panti asuhan Sayang Hati di Kalasan. Dekat kok dari sini. Itu nomor kantornya.”
“Oh ya ke mana arahnya?” Ammar antusias mendengar perkataan Dian.
“Dari kedai ke arah selokan mataram terus ambil kiri.”
“ Jembatan baru itu?”
“Iya ambil kiri sebelah kanan jalan.”
“Oh situ, saya pernah lewat. Memang Zizi ngapain kalau ke sana?” Ammar penasaran.
“Ya bantu-bantu Pak, kadang-kadang sampai menginap. Ada temannya yang mengasuh di sana. Gimana kalau ditelepon saja Pak?”
“Alhamdulillah, terima kasih Dian. Oh ya ini ada air mineral ambil sendiri. Saya coba telepon.”
Dengan langkah buru-buru Ammar keluar ruangan. Hatinya berharap Zizi benar ke panti asuhan itu.
Tut tut tut ... tut tut tut ...
Tidak tersambung sampai beberapa kali. Sambil terus memohon pada Allah jantungnya mendadak berkejaran.
“Iya Hallo Assalamualaikum, panti Asuhan Sayang Hati, ada yang bisa dibantu?” suara dari seberang milik seorang perempuan. Sedikit lega menggalir di hati Ammar.
“Walaikumussalam, maaf mengganggu. Saya Ammar calon suami Zizi.”
“Oh ya, kenapa Pak Ammar? Cari mbak Zi, ya?”
“Iya benar, Apa Zizi masih di Panti Ibu?”
“Lho, sudah dari jam sebelas tadi pergi, Pak.” Ah, pupus hati Ammar.
“Apa Zi cerita mau ke mana Ibu? Hpnya tidak bisa dihubungi,” jelas Ammar bergetar.
“Maaf, mbak Zi nggak cerita apa-apa.”
Pembicaraan ditutup dengan gontai, titik terang kembali memudar. Ammar kehilangan jejak Zizi. Keterangan terakhir ibu panti kalau benda slim itu baterainya habis dan Zi lupa mengisi energinya.
Hanya hembusan napas dan kekhawatiran yang tampak di wajah penuh harap itu. Ammar belum tahu mau berbuat apa.
Sebuah panggilan masuk sempat membuat jantung Ammar berirama cepat. Harapannya Zizi yang menelepon. Apalagi dengan nomor asing.
“Hallo, assalamualaikum. Mar ini Tahmid, kamu di mana? Zizi sama kamu nggak?”
*
Menatap langit tanpa gelap mendung.
Menyambut jiwa dalam tangkup rindu
Menyentuh peluh teguh beradu
Membersamaimu tanpa ragu di ujung waktu
Selamanya ingin langit membiru.
Bergerak berarak mengikuti angin syahdu
Tak hendak tautan menjauh bersamamu
(Hazima Sofia, ‘Jika memang engkau takdirku’)
*
Senja yang setia dengan sapuan jingganya. Entahlah, kenapa banyak kaum hawa yang menyuka. Menatap lekat lama seakan menanti dalam ketidakpastian. Lukisannya indah membentang angkasa raya. Bagaskara menenggelamkan pesona sinarnya. Menjemput gelap menebar rasa memeluk aman.
Di sinilah seorang Zi sedang tertunduk. Merenungi perjalanan hidup yang penuh dengan goresan warna. Berbekas sampai ke dasar hati yang paling dalam. Mungkin tidak bisa hilang bekas luka itu. Bila ada duri yang menyinggung, maka luka itu pun akan menyebabkan keperihan yang terulang. Bahkan lebih sakit dan pedih.
Pena setia menemani di lembaran putih. Zizi menyandarkan hatinya agar berdamai dengan skenario-Nya. Pandangan mata tak lelah mencari harmoni ombak yang terus berkejaran. Dengan kuasa Allah ombak tidak pernah lelah saling menyambut. Deburan besar Pantai Bugel tidak mengusiknya.
Berkejaran pasang surut sepanjang mangsa. Mengisyaratkan hidup yang berirama. Terkadang di depan dan tetap harus menoleh ke belakang. Sebagai pengingat dan bentuk syukur semata.
Zizi enggan berpindah dari tempatnya berpijak. Selain masih kangen dengan mbak Jihan masih ada yang menggayut di pikirannya. Tanpa disadari pundaknya digamit seorang, mbak Jihan.
“Zi, adzan magrib kurang beberapa menit lagi.”
“Mbak? Ah, kenapa waktu berjalan begitu cepat.” Dengusnya.
“Ini mengeluh atau tidak sabar menunggu hitungan jam?” kerling Jihan mencubit pipi Zizi.
“Entahlah Mbak, Zi sendiri nggak paham.” Jihan menepuk pundak Zizi dan mengajaknya pulang. Dengan motor bebek rumah Jihan hanya butuh waktu sepuluh menit dari pantai Bugel.
“Tadi ponselmu berdering sampai puluhan kali.”
“Terus?”
“Karena kamu nggak pesan apa-apa ya mbak biarkan saja.”
“Alhamdulillah terima kasih mbak.” Jihan mengerutkan keningnya. Ada apa dengan Zizi? Ditelepon calon suami tidak mau berbicara malah bersyukur.
Tadarus bersama menambah kangen kedua perempuan salihah itu. Jihan gembira dikunjungi Zizi, adik kelasnya di pondok yang dianggap seperti adik sendiri. Hubungan mereka sangat akrab semenjak Jihan mengetahui keadaan Zizi.
Kehadiran Jihan bukan hanya seperti ibu peri pengganti Tahmid. Sifat lembut tetapi tegas yang dimilik Jihan, mampu menyentuh perasaan Zizi. Pelan-pelan Zizi berani menatap harinya dengan penuh keyakinan.
Jihan melepas mukena dan menatap wajah tidak bersemangat Zizi. Aneh, calon pengantin dalam kemurungan. Segera dipeluk tubuh Zizi yang terlihat kurus. Tidak tega melihat matanya yang berkabut.
“Zi, satu kata untukmu, kamu sedang ragu. Benar, kan?” Jihan menguar pelukannya.
“Apa yang harus Zi lakukan Mbak?”
“Ammar?”
“Bukan, bukan kak Ammar.”
“Terus siapa? Bukankah kamu mau nikah sama dia?”
“Dua orang yang sama-sama Zizi hormati, bunda dan ibu Asma, ibu kak Ammar.”
“Zi, bukannya kamu cerita kalau ibunya Ammar menerima dengan baik. Tiba-tiba berubah, secepat itu?”
“Ceritanya panjang Mbak.”
*
Flash back sehari sebelumnya.
Zizi menatap mainan bebek warna kuning yang lucu. Ada bebek besar ditambah lima bebek kecil yang juga imut. Bibirnya tersungging sambil membayangkan mainan itu menemani Khadija mandi. Balita satahun itu pasti terkekeh senang. Khadija yang malang, penghuni panti yang tidak diketahui siapa orang tuanya.
Tanpa ragu mainan itu diambilnya ketika ada tangan yang ikut memegangnya juga. Keduanya bertatapan dan saling memberi sapa
“Maaf, kalau boleh buat saya ya Mbak,” kata gadis berwajah cantik itu ramah.
“Oh, boleh-boleh silahkan! Ini.”
“Terima kasih, ngomong-ngomong belikan purtanya Mbak?”
“Bukan, Mbak sendiri?”
“Untuk calon keponakan saya,” ucapnya tanpa kedip mengamati sudut wajah Zizi.
“Sepertinya saya pernah lihat Mbak lho.”
“Masa sih? Kita belum pernah ketemu,” jelas Zizi sambil mencoba mengingat.
“Mbak Zizi, kan? Ah, saya ingat sekarang.”
“Iya saya Zizi, emm... apakah Mbak pernah membeli novel saya? Maaf kalau saya lupa.”
“Ada apa Vit? Lama banget. Ibu sudah nunggu lama di kasir. Lho ada Zizi?”
“Ibu Asma?” Masya Allah, dunia memang tidak seluas samudera.
Dengan takzim Zizi mengambil tangan perempuan itu. Menciumnya dengan jantung yang berpacu kencang.
“Sedang apa kalian? Zi, kenalkan ini Vita.”
“Iya Ibu, tadi sempat ngobrol sebentar. Maaf Mbak kalau saya kurang sopan.” Zizi merendah dan mengulurkan tangannya.
“Senang berkenalan denganmu, mbak Zizi. Selamat ya atas pernikahannya. Mbak Zizi sungguh beruntung.” Senyum Vita tanpa memperlihatkan giginya.
“Sama-sama Mbak, ini belanja bareng Ibu, ya?”
“Iya Zi, kapan-kapan kita belanja bareng, ya. Oh ya, Vit kamu cepat antri sana! Ibu mau bicara sebentar sama Zizi.” Terdengar begitu akrab di telinga. Sementara Zizi sibuk berdoa menata hatinya, perasaan tidak nyaman menyeruak.
“Ngobrol apa tadi Zi?”
“Oh, ini kami bersaman mengambil mainan bebek tadi.”
“Kok bisa, selera kalian sama ya?” wajah bu Asma terheran kemudian tertawa lirih.
“Zi, gimana penampilan Vita?”
“Maaf, maksud Ibu busananya?
“Ah, bukan itu, kamu perhatikan nggak tadi cara bicaranya? Keluarganya sangat terpelajar, tidak heran kalau anaknya juga menurun.” Zizi masih tidak bersuara, tetapi hatinya bergemuruh.
“Zi, dia sangat mengagumi Ammar. Tetapi dia tidak marah mendengar Ammar memilih kamu. Lihat dia tetap ramah, kan tadi?” puji ibu Asma tanpa melihat ke arah Zizi.
Sesaat Zizi berhasil menahan apa yang dirasakan. Sampai ketika bu Asma membisikkan sesuatu di telingannya.
“Zi, ada sesuatu yang perlu kamu pahami.” Zizi berusaha mendengarkan baik-baik.
“Iya Ibu.”
“Vita berkata kalau dia siap menjadi yang kedua.” Zizi mematung dengan jantung seperti di pompa saja. Apa maksud ibu?
Jadi gadis yang dimaksud ibu dulu adalah Vita. Pantas saja keduanya sangat akrab. Dicobanya bersikap sewajarnya, menyadari Ammar baru calon imamnya. Tidak ada alasan untuk memihak. Dan diam adalah posisi yang aman.
“Satu lagi Zi, ibu minta sama kamu! Jangan ada keributan diacaramu besok. Paham, kan maksud ibu? Nanti bapaknya Ammar bisa jantungan.” Masih tetap dengan senyum yang terasa menghujam hati Zizi.
“Paham Ibu, semoga semuanya nanti lancar.” Zizi menahan embun yang hampir luruh.
“Ibu duluan ya! Vita sudah selesai itu. Kamu jaga diri ya! pengantin jangan sampai sakit. Bisa-bisa diganti nanti pengantinnya.” Lagi-lagi Zizi cuma menarik bibirnya senatural mungkin. Pelukkan bu Asma terasa berbeda, bahkan lebih hangat pelukan bu Handayani.
*
Suara isak yang tertahan tidak terdengar. Zizi benar-benar menumpahkan yang menyekat tenggorokan. Berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Pernyataan calon mertuanya bukan angin lalu yang lewat begitu saja.
Sanggupkah melarang bunda hadir demi kekhawatiran ibu Ammar. Sebenarnya apa yang ada di hatinya? Jika tidak menerima kenapa beliau menyetujui? Apa yang harus aku lakukan? Batin Zizi gamang.
“Lihat wajah mbak, Zi! Sekarang mbak paham yang kamu rasakan. Kamu nggak boleh menyesali putusanmu. Yang menikah kamu dan Ammar. Kesungguhanmu akan meluluhkan ibunya Ammar. Dan itu tidak semudah yang kamu bayangkan.” Butiran bening itu deras menganak sungai, mata coklatnya diliputi mendung kelabu. Zizi sungguh pada titik tak berdaya.
“Jika Ammar memang jodohmu, rintangan yang menghalang tidak akan memisahkan kalian. Ingat kisah nabi Adam dan ibu para ummat? Rasa yakin menguatkan semuanya Zi. Dan yakin itu bukan di pikiranmu tetapi di sini. Di hatimu.”
“ Zi hanya tidak mau semua ini akan menyebabkan kesalah pahaman dengan kak Ammar, dan akibatnya jelas kurang baik Mbak. Dan nggak mungkin cerita ke abang."
“Iya benar tapi kamu belum cerita ke Ammar masalah ini, kan?” Zizi menggeleng lemah.
“Bagus kalau begitu. Syukurlah kamu msih bisa nalar Zi. Sekarang cobalah pejamkan matamu! Dengarkan hatimu, yang lekat kamu rasakan yang mana? Jangan lupa sambil berdoa adikku. Ayo lakukan dengan bismillah terlebih dulu!”
Tanpa menunggu lama Zizi melakukan petunjuk Jihan. Ingatannya kembali ke masa pondok. Cara ini dipakai untuk membantu santri agar kerasan di pondok. Zizi berusaha untuk mendengarkan suara hatinya, tetapi tetap saja tidak bisa! Dia membuang napas kasar.
“Masya Allah, tidak bisa, Zi tidak bisa mbak. Keduanya orang yang berharga dalam hidup Zi.” Kini Zizi yang mencari hangatnya seorang ibu. Jihan begitu iba sambil mengusap kerudung lebar Zizi.
“Kamu lelah Zi, istirahatlah dulu! Mbak nggak izinkan kamu balik malam ini sendiri jika kamu kaya gini.”
“Iya Mbak, Zi juga masih kangen sama Mbak. Semoga besok Zizi mendapat petunjuk yang terbaik. Aamiin.” Zizi melepas pelukannya.
“Menurut mbak, sebaiknya kamu kabari Tahmid. Dia pasti kebingungan mencarimu.”
“Baik Mbak, Zi ambil ponsel dulu.”
Meski belum terurai yang mengganjal di hatinya, Zizi merasa lebih lega. Rasa lelahnya lebih menginginkannya untuk memeluk malam.
[Assalamulaikum, Zi ada di tempat yang aman. Butuh sesaat sendiri. Abang jangan khwatir. Pagi Zi pulang]
Pesan wa untuk Tahmid sudah terkirim, tetapi belum dibaca. Biarlah yang penting sudah terkirim. Zi menekan nomor Ammar, pesan padat ditulisnya.
[Assalamualaikum, Kak Ammar maaf baru wa. Zi di sini aman. Tolong jangan menghubungi. Terima kasih].
Senyum tipis membuat mata Zizi yang sembab terlihat menyempit. Hawanya semakin terasa dingin di daerah dekat pantai ketika malam merayap. Jihan merasa senang Zizi menginap. Itu artinya dia tidak sendiri. Sang suami melakukan dinas dan harus bermalam.
“Zi, ada mobil datang. Masa Mas Sadid sih?”
“Ada yang ketinggalan mungkin Mbak.”
“Mbak yakin sudah dibawa semua, tadi yang paking tangan mbak sendiri.”
“Zi yang buka pintunya Mbak, gimana? Baju mbak belum rapi gitu,” goda Zi lucu.
Suara ketokan pintu yang pelan menambah penasaran Jihan. Suaminya tidak pernah mengetok pintu seperti itu. Tanpa suara salam !
Terdengar pintu berderit berpindah posisi, tetapi tidak terdengar tanda-tanda kedatangan seseorang dari ruang depan.
“Zi, siapa yang datang?” Jihan mencoba mencari tahu, tetap saja Zizi tidak menyahut. Dengan langkah curiga Jihan mencari tahu apa yang terjadi.
“Zi, kenapa diam. Oh ... Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Jihan. Mata orientalnya semakin kentara menyipit!
Pantas Zizi terpana dengan mata nanar demi melihat siapa yang datang. Jihan tidak kalah terkejutnya dari Zizi.
a Worldle
aaron jones
agen grosir lipstik wardah murah cirebon
ambulans cirebon gratis
Anne Heche
Artemis launch
BABYDOLL
Banana
Banana Boat sunscreen recalled
Baylor
Baylor basketball
berita
bertuah
Betty White birthday
Bibit
binahong
Biodata
Bitcoin price
blaze pizza
Boat
Bob Saget dead
Boston Celtics
Brady Manek
Brentford vs Man United
Brittney Griner
brownies
bunga hias
Cain Velasquez
cctv
Cerbung
CERUTY
Chicago Bears
Cirebon
Cleveland Guardians
Communications
Cowboys
cuan
daftar blokir
Daylight savings time
dongdangan
dongdangan murah cirebon
Duke vs UNC
emas
English
Epic
F1
Florence Pugh
Free COVID test kits
GA
Gamis
ganggang
Gas
gerobak
gerobak murah cirebon
Ghost of Kyiv
grosir
Haji
Hellraiser
herbal
Hurricane tracker
Ian Book
Indonesia
info
info sehat
Instansi
IPA
Irlandia
is dead at 73
Islami
Ivana Trump
Ivana Trump is dead at 73
Japan
Japan earthquake
jasa bebersih
John Easterling
John Madden
kain
Kanye West
kap lampu
kap lampu hias
Katie Meyer
kelor
khitan
khitan cirebon
khitan gratis
khitan massal
Kim Potter guilty
korma
kosmetik murah cirebon
kost
kucing
kue kering
kue lebaran
kuliner
kurma
lampu hias
legend
Lululemon
Lunar New Year
Manchester United
Marry Me
Martin Shkreli
Meagan Good
Mega Millions
Mike Nesmith
modem
Monkeypox
Nathan Chen
National Coffee Day 2022
NCAA basketball
neo
news
NFL
north carolina basketball
nostalgia
obat herbal
orang hilang
orang iseng
orang pertama
parabola
PASHMINA
penipuan
Perusahaan
Pi
Pi Day
pi day 2022
pi pizza deals
pie
pie day
pijat
pijat lulur cirebon
pijat totok cirebon
pisang sale
Pittsburgh bridge collapse
piyahong
Pokemon
poles mobil
poles motor
Powerball
PPA
PPA Cirebon
PPA Gathering
PPA GJB
PPA Mobil Kemanusiaan
PPA Sekolah Cinta
PPALC
PPALC Cirebon
Prediksi Skor
Premier League
PREMIUM
property
psg
pulsa
pusaka
pusat pisang sale murah
Queen Elizabeth dead
quota
Raiders
recalled
Recession
Rental Mobil
Rihanna
Ronnie Spector Dead at 78
router
rusia
Russell Wilson
Samsung Galaxy S22 Ultra
SD
Sean Connery
Sekolah
sekolah alam
Sembako
seragam pramuka muran cirebon
Service
servis printer cirebon
Shane Warne
Silsilah
sirih
sirih hijau
sirih merah
SMA
SMK
Snake
soal
soal tanya jawab
software
Solsticio de verano
Sport
Steelers
sunscreen
susu etawa
Tampa Bay Buccaneers
tanah
Telur
Test TOEIC
Texas Longhorns Football
TK
Today 8A
toko emas cirebon
Tom Brady
Tommy Lee
Tottenham Sevilla
Tower of Fantasy
Tullamore
tumbuhan
TV Murah
Tyreek Hill
UFC 278
Umroh
UNC
unc basketball
unc baylor
unc vs baylor
upvc
vaksin
vape
Virgil Abloh
what is pi
wife of Donald Trump
wifi
Will Smith
Women's figure skating
Zelensky
Михаил Зеленский
토트넘 세비야
カムカムエヴリバディ
マスターデュエル
全日本大学駅伝
千と千尋の神隠し
地震
多発性骨髄腫
日本シリーズ
石原さとみ
神田沙也加
藤子不二雄A
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar