a Worldle aaron jones agen grosir lipstik wardah murah cirebon ambulans cirebon gratis Anne Heche Artemis launch BABYDOLL Banana Banana Boat sunscreen recalled Baylor Baylor basketball berita bertuah Betty White birthday Bibit binahong Biodata Bitcoin price blaze pizza Boat Bob Saget dead Boston Celtics Brady Manek Brentford vs Man United Brittney Griner brownies bunga hias Cain Velasquez cctv Cerbung CERUTY Chicago Bears Cirebon Cleveland Guardians Communications Cowboys cuan daftar blokir Daylight savings time dongdangan dongdangan murah cirebon Duke vs UNC emas English Epic F1 Florence Pugh Free COVID test kits GA Gamis ganggang Gas gerobak gerobak murah cirebon Ghost of Kyiv grosir Haji Hellraiser herbal Hurricane tracker Ian Book Indonesia info info sehat Instansi IPA Irlandia is dead at 73 Islami Ivana Trump Ivana Trump is dead at 73 Japan Japan earthquake jasa bebersih John Easterling John Madden kain Kanye West kap lampu kap lampu hias Katie Meyer kelor khitan khitan cirebon khitan gratis khitan massal Kim Potter guilty korma kosmetik murah cirebon kost kucing kue kering kue lebaran kuliner kurma lampu hias legend Lululemon Lunar New Year Manchester United Marry Me Martin Shkreli Meagan Good Mega Millions Mike Nesmith modem Monkeypox Nathan Chen National Coffee Day 2022 NCAA basketball neo news NFL north carolina basketball nostalgia obat herbal orang hilang orang iseng orang pertama parabola PASHMINA penipuan Perusahaan Pi Pi Day pi day 2022 pi pizza deals pie pie day pijat pijat lulur cirebon pijat totok cirebon pisang sale Pittsburgh bridge collapse piyahong Pokemon poles mobil poles motor Powerball PPA PPA Cirebon PPA Gathering PPA GJB PPA Mobil Kemanusiaan PPA Sekolah Cinta PPALC PPALC Cirebon Prediksi Skor Premier League PREMIUM property psg pulsa pusaka pusat pisang sale murah Queen Elizabeth dead quota Raiders recalled Recession Rental Mobil Rihanna Ronnie Spector Dead at 78 router rusia Russell Wilson Samsung Galaxy S22 Ultra SD Sean Connery Sekolah sekolah alam Sembako seragam pramuka muran cirebon Service servis printer cirebon Shane Warne Silsilah sirih sirih hijau sirih merah SMA SMK Snake soal soal tanya jawab software Solsticio de verano Sport Steelers sunscreen susu etawa Tampa Bay Buccaneers tanah Telur Test TOEIC Texas Longhorns Football TK Today 8A toko emas cirebon Tom Brady Tommy Lee Tottenham Sevilla Tower of Fantasy Tullamore tumbuhan TV Murah Tyreek Hill UFC 278 Umroh UNC unc basketball unc baylor unc vs baylor upvc vaksin vape Virgil Abloh what is pi wife of Donald Trump wifi Will Smith Women's figure skating Zelensky Михаил Зеленский 토트넘 세비야 カムカムエヴリバディ マスターデュエル 全日本大学駅伝 千と千尋の神隠し 地震 多発性骨髄腫 日本シリーズ 石原さとみ 神田沙也加 藤子不二雄A

Minggu, 21 November 2021

KABUT DISENYUM HAZIMA Bag 5

#Menghilang

Ammar sedang mempersiapkan catatan untuk kebutuhan kedai kopinya. Dalam sepekan kedepan dia berniat fokus pada acara walimahan. Pasca menikah Ammar berencana langsung menempati rumah mungil di kampung dekat kedai kopi. Sebuah istana kecil hasil  kerja kerasnya selama ini.

 Membangun keluarga yang sakinah penuh keberkahan. Tempat mencari kehangatan jiwa dan mencurahkan kasih sayang penuh cinta. Membahagiakan  Zizi adalah wujud impian yang tersimpan, yang tertanam  di sudut hati yang paling dalam.

Dua hari menjelang akaq nikah sungguh jauh dari yang dibayangkan. Ammar yang biasanya mudah mengontrol hati dan pikiran, entah mengapa tampak mudah tersinggung dan pelupa!

Beberapa karyawan terkena imbas karena bekerja tidak sesuai petunjuknya. Termasuk Roni sebagai tangan panjangnya.

 Pria itu  tersenyum kecut. Baru saja ditegur Ammar dengan bahasa yang bikin jantung kalang kabut.

Ada seorang pelanggan mengomplain rasa tempe mendoan yang agak kecut. Padahal selama ini tempe mendoan adalah gorengan favorit di kedai kopi bernuansa ‘pawon’ itu. Tanpa bertanya apa dan kenapa, Ammar mencecar Roni seperti pesakitan tanpa diberi kesempatan berbicara. Sebenarnya sangat wajar, karena Roni yang bertanggung jawab mengurusi pengadaan barang.

Sedang Si Arga, koki jebolan tehnik boga itu  juga dibuat bungkam tak berkutik.

“Ar, di kampus nggak diajari ngetes tempe mau busuk? Masa sudah lulus kalah sama mbak Parmi! Urus semua yang tadi kamu bikin!” Arga setengah berlari memberesi tempe mendoan yang tersaji.

Ah, memang lagi apes. Baru kali ini tidak ngecek kondisi tempe, eh pas pak boss sedang banyak pikiran. Hibur Arga dengan rasa sesal.

Saat itu juga semua tempe mendoan yang di produksi bersamaan,  ditarik dan diganti dengan  yang baru. Sementara Roni mendapat peringatan keras atas keteledorannya itu.

 Masih bersyukur tidak potong gaji.
Ah, si boss masih punya hati yang baik. Roni ikut membatin.

Di kantor, Ammar menatap  beberapa lembar undangan di meja tanpa ekspresi. Undangan yang didesain Zizi memberi nuansa haru yang membuat perasaannya menghangat. Emosinya luruh mencoba mencari celah atas sikap kasarnya pada karyawan.

“Wudhu Kak biar setannya pada kabur kena air suci,” bisik Zizi dekat di telingamya.

Ammar  mendengus, itu hanya khayalannya saja. Begitu membaca nama Zizi, kenapa langsung suaranya  hadir meredam panas pikiran tanpa sebab. Apa mungkin malaikat mengingatkan lewat suara Zizi? Dengan semangat diseretnya kaki beralas sandal japit ke kamar mandi. Ya, wudhu itu lebih baik!

Tak terasa lepas menghadap sang Rabb hati mulai tenang dan memang harus tenang! Memang begitulah hakikat mencegah perbuatan keji dan munkar. Akan hilang makna shalat bila tidak diiringi dengan  langkah kongkrit. Bentuk ‘ih dinash shirathal Mustaqiim’ dalam setiap rakaat yang dibaca.  Termasuk menahan nafsu marah bila menyelesaikan masalah. Mendadak Ammar merasa malu mengingat sikapnya ke Roni dan Arga yang tak bijak.

Dia menyandarkan kepala di kursi. Sepekan tidak bertemu Zizi membuatnya susah bernapas. Benar-benar oksigen tidak mampu mengurai rasa rindu yang menyusup. Sungguh ini sebuah ujian yang seharusnya tidak merisaukannya.

Ammar tersenyum konyol. Belum jadi kekasih halal sudah menggunung kangennya, apalagi nanti. Ah, bisa dipastikan dalam sedetik tidak akan lepas dari wajah teduh itu. Dalam setiap napas hanya oksigen yang serupa Zizi yang membuatnya bisa membuka mata setiap fajar. Hemmm... indah dalam setiap kerinduan.

Benarlah kiranya hadist Rasulullah yang mengisyaratkan, bahwa sebaik-baik keindahan di dunia adalah istri salihah. Jika dipandang menentramkan,  dan bila dirasakan akan  menyejukkan jiwa. Ammar menghela napas lagi sembari beristiqfar. Nalarnya hampir terbelenggu hasrat jiwanya yang sempat terantuk batu.

Zizi sengaja meminta untuk tidak bertemu sampai hari suci itu tiba. Alasannya juga bisa diterima.  Untuk menjaga kebaikan semuanya, yang jelas karena secara hukum belum halal! Masya Allah Zizi begitu berhati-hati dalam melangkah. Tidak ingin mengotori hati meski dengan bakal suami.

Ammar yang semula rada keberatan, menawar menggunakan wa untuk komunikasi. Zizi yang  keukeh akhirnya mengalah. Tentu saja dengan catatan jika ada masalah yang penting atau mendesak alias darurat. Pun itu bisa bertemu.

Alhamdulillah, hampir seratus persen semua pernak pernik persiapan akaq dan walimahan  rampung. Sebagian diurus Ammar dan sebagian Tahmid dibantu Zizi. Orang tua tahunya beres, yang terpenting doa dan restu mereka. Sengaja ini dilakukan, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bukannya banyak kasus karena kecapean, justru di hari H orang tua malah harus menginap di rumah sakit.

 Ammar membuka memori persiapan yang belum kelar. Ya, tinggal sauvenir yang dibuat Zizi sendiri. Pekerjaannya belum tunts karena satu karyawan yang membantu, mbak Arum  cuti melahirkan. Makanya Zizi sendiri yang memaksa turun tangan. Ammar sempat mengkhawatirkan Zizi yang lembur beberapa hari ini. Bukan tidak Mungkin  Zizi malah tidak berdaya saat ikatan suci diikrarkan. Ah, Ammar mulai menyadari sifat keras kepala seorang Zizi.

 Perasaan aneh menyusup tanpa sebab. Sejak subuh Zizi tidak bisa dihubungi. Pesan wa terakhir dilihat jam sebelas malam. Hampir masuk dhuhur tetap saja ponselnya belum aktif. Ammar mulai tidak tenang. Mbak Putri dan Dian  yang menempati rumah produksi juga tidak bisa dihubungi.

“Bos, permisi,” Herman masuk diikuti seorang perempuan.

Ammar bangkit dan mempersilahkan tamunya. Tetiba ada firasat yang kurang mengenakkan. Demi melihat siapa tamunya.

“Dian?”

“Iya Pak, maaf kalau saya nggak ngabari dulu mau ke sini. Hp saya error.”

“Iya ngak papa, Zizi?” tanya Ammar tidak sabar. Dian berusaha tenang, sambil menyerahkan barang yang dikemas duz ukuran besar.

“Nah itu, mbak Zi hpnya nggak aktif. Padahal pamitnya cuma ke pasar. Saya kira ada di sini Pak.”

Ammar duduk tanpak cemas. Hampir jam dua siang. Kemana kamu Zi?

“Oh ya, mas Tahmid juga telepon tadi. Menanyakan kapan mbak Zi yang balik Klaten."

“Jam berapa Tahmid telepon?”

“Sebelum saya ke sini, Pak, “ jelas Dian berubah menjadi ikut cemas. Berarti Zizi tidak ke Klaten.

“Dian tahu nggak, biasanya Zizi ke mana maksudku dia punya tempat favorit atau teman gitu?”

Gadis berkerudung biru tua itu mencoba mengingat. Memorinya tak menyimpan apapun selain rumah sakit Grasia dan kios jualan.

“Gimana Dian?”

“Saya tahunya cuma di rumah sakit dan kios. Tapi hari ini kios tutup Pak.”

“Oh gitu. Ya Allah ke mana kamu Zi?” bisik Ammar tetapi jelas didengar Dian.

Ruangan tersapu tiupan angin dari luar. Sedikit memberi rasa sejuk di panas yang mulai mereda. Seorang Ammar berusaha bersikap tenang walau hatinya ingin berlari. Mencari ke mana saja Zizi berada.

Bayangan pengantin hilang dihari pernikahan menambah gemuruh di dadanya. Rasanya tak sanggup bernapas bila ini terjadi. Tetapi apakah Zizi sekerdil itu? Lalu kenapa pergi tanpa keterangan yang nggak jelas begini?Ah, Ammar menutup wajahnya dengan cemas tingkat  dewa.

Wajah Dian berubah harap  seperti menemukan jalan keluar dari masalah. Secarik kertas diberikan pada Ammar.

“Pak Ammar, saya ingat sesuatu.”

“Iya, apa itu? Ini nomor siapa?"

“Mbak Zi sering berkunjung ke panti asuhan Sayang Hati di Kalasan. Dekat kok dari sini. Itu nomor kantornya.”

“Oh ya ke mana arahnya?” Ammar antusias mendengar perkataan Dian.

“Dari kedai ke arah selokan mataram terus ambil kiri.”

“ Jembatan baru itu?”

“Iya ambil kiri sebelah kanan jalan.”

“Oh situ, saya pernah lewat. Memang Zizi ngapain kalau ke sana?” Ammar penasaran.

“Ya bantu-bantu Pak, kadang-kadang sampai menginap. Ada temannya yang mengasuh di sana. Gimana kalau ditelepon saja Pak?”

“Alhamdulillah, terima kasih Dian. Oh ya ini ada air mineral ambil sendiri. Saya coba telepon.”

Dengan langkah buru-buru Ammar keluar ruangan. Hatinya berharap Zizi benar ke panti asuhan itu.

Tut tut tut ... tut tut tut ...

Tidak tersambung sampai beberapa kali. Sambil terus memohon pada Allah jantungnya mendadak berkejaran.

“Iya Hallo Assalamualaikum, panti Asuhan Sayang Hati, ada yang bisa dibantu?” suara dari seberang milik seorang perempuan. Sedikit lega menggalir di hati Ammar.

“Walaikumussalam, maaf mengganggu. Saya Ammar calon suami Zizi.”

“Oh ya, kenapa Pak Ammar? Cari mbak Zi, ya?”

“Iya benar, Apa Zizi masih di Panti Ibu?”

“Lho, sudah dari jam sebelas tadi pergi, Pak.” Ah, pupus hati Ammar.

“Apa Zi cerita mau ke mana Ibu? Hpnya tidak bisa dihubungi,” jelas Ammar bergetar.

“Maaf, mbak Zi nggak cerita apa-apa.”

Pembicaraan ditutup dengan gontai, titik terang kembali memudar. Ammar kehilangan jejak Zizi. Keterangan terakhir ibu panti kalau benda slim itu baterainya habis dan Zi lupa mengisi energinya.

Hanya hembusan napas dan kekhawatiran yang tampak di wajah  penuh harap itu. Ammar belum tahu mau berbuat apa.

 Sebuah panggilan masuk sempat membuat jantung Ammar berirama cepat. Harapannya Zizi yang menelepon. Apalagi dengan nomor asing.

“Hallo, assalamualaikum. Mar ini Tahmid, kamu di mana? Zizi sama kamu nggak?”

*

 Menatap langit tanpa gelap mendung.
 Menyambut jiwa dalam tangkup rindu
 Menyentuh peluh teguh beradu
 Membersamaimu tanpa ragu di ujung waktu
    Selamanya ingin langit membiru.
    Bergerak berarak mengikuti angin syahdu  
    Tak hendak tautan menjauh bersamamu

(Hazima Sofia, ‘Jika memang engkau takdirku’)

 *

Senja yang setia dengan sapuan jingganya. Entahlah, kenapa banyak kaum hawa yang menyuka. Menatap lekat lama seakan menanti dalam ketidakpastian. Lukisannya indah membentang angkasa raya. Bagaskara menenggelamkan pesona sinarnya. Menjemput gelap menebar rasa memeluk aman.

Di sinilah seorang Zi sedang tertunduk. Merenungi perjalanan hidup yang penuh dengan goresan warna. Berbekas sampai ke dasar hati yang paling dalam. Mungkin tidak bisa hilang bekas luka itu. Bila ada duri yang menyinggung, maka luka itu pun akan menyebabkan keperihan yang terulang. Bahkan lebih sakit dan pedih.

 Pena setia menemani di lembaran putih. Zizi menyandarkan hatinya agar berdamai dengan skenario-Nya. Pandangan mata tak lelah mencari harmoni ombak yang terus berkejaran. Dengan kuasa Allah ombak tidak pernah lelah saling menyambut. Deburan besar Pantai Bugel tidak mengusiknya.

Berkejaran pasang surut sepanjang mangsa. Mengisyaratkan hidup yang berirama. Terkadang di depan dan tetap harus menoleh ke belakang. Sebagai pengingat dan bentuk syukur semata.

 Zizi enggan berpindah dari tempatnya berpijak. Selain masih kangen dengan mbak Jihan masih ada yang menggayut di pikirannya. Tanpa disadari pundaknya digamit seorang, mbak Jihan.

“Zi, adzan magrib kurang beberapa menit lagi.”

“Mbak? Ah, kenapa waktu berjalan begitu cepat.” Dengusnya.

“Ini mengeluh atau tidak sabar menunggu hitungan jam?” kerling Jihan mencubit pipi Zizi.

“Entahlah Mbak, Zi sendiri nggak paham.” Jihan menepuk pundak Zizi dan mengajaknya pulang. Dengan motor bebek rumah Jihan hanya butuh waktu sepuluh menit dari pantai Bugel.

“Tadi ponselmu berdering sampai puluhan kali.”

“Terus?”

“Karena kamu nggak  pesan apa-apa ya mbak biarkan saja.”

“Alhamdulillah terima kasih mbak.” Jihan mengerutkan keningnya. Ada apa dengan Zizi? Ditelepon calon suami tidak mau berbicara malah bersyukur.

Tadarus bersama menambah kangen kedua perempuan salihah itu. Jihan gembira dikunjungi Zizi, adik kelasnya di pondok yang dianggap seperti adik sendiri. Hubungan mereka sangat akrab semenjak Jihan mengetahui keadaan Zizi.

Kehadiran Jihan bukan hanya seperti ibu peri pengganti Tahmid. Sifat lembut tetapi tegas yang dimilik Jihan, mampu menyentuh  perasaan Zizi. Pelan-pelan Zizi berani menatap harinya dengan penuh keyakinan.

Jihan melepas mukena dan menatap wajah tidak bersemangat Zizi. Aneh, calon pengantin dalam kemurungan. Segera dipeluk tubuh Zizi yang terlihat kurus. Tidak tega melihat matanya yang berkabut.

“Zi, satu kata untukmu, kamu sedang ragu. Benar, kan?” Jihan menguar pelukannya.

“Apa yang harus Zi lakukan Mbak?”

“Ammar?”

“Bukan, bukan kak Ammar.”

“Terus siapa? Bukankah kamu mau nikah sama dia?”

“Dua orang yang sama-sama Zizi hormati, bunda dan ibu Asma, ibu kak Ammar.”

“Zi, bukannya kamu cerita kalau ibunya Ammar menerima  dengan baik. Tiba-tiba berubah, secepat itu?”

“Ceritanya panjang Mbak.”

*

Flash back sehari sebelumnya.

 Zizi menatap mainan bebek warna kuning yang lucu. Ada bebek besar ditambah lima bebek kecil yang juga imut. Bibirnya tersungging sambil membayangkan mainan itu menemani Khadija mandi. Balita satahun itu pasti terkekeh senang. Khadija yang  malang, penghuni panti yang tidak diketahui siapa orang tuanya.

 Tanpa ragu mainan itu diambilnya ketika ada tangan yang ikut memegangnya juga. Keduanya bertatapan dan saling memberi sapa

“Maaf, kalau boleh buat saya ya Mbak,” kata gadis berwajah cantik itu ramah.

“Oh, boleh-boleh silahkan! Ini.”

“Terima kasih, ngomong-ngomong belikan purtanya Mbak?”

“Bukan, Mbak sendiri?”

“Untuk calon keponakan saya,” ucapnya tanpa kedip mengamati sudut wajah Zizi.

“Sepertinya saya pernah lihat Mbak lho.”

“Masa sih? Kita belum pernah ketemu,” jelas Zizi sambil mencoba mengingat.

“Mbak Zizi, kan? Ah, saya ingat sekarang.”

“Iya saya Zizi, emm... apakah Mbak pernah membeli novel saya? Maaf kalau saya lupa.”

“Ada apa Vit? Lama banget. Ibu sudah nunggu lama di kasir. Lho ada Zizi?”

“Ibu Asma?” Masya Allah, dunia memang tidak seluas samudera.

Dengan takzim Zizi mengambil tangan perempuan itu. Menciumnya dengan jantung yang berpacu kencang.

“Sedang apa kalian? Zi, kenalkan ini Vita.”

“Iya Ibu, tadi sempat ngobrol sebentar. Maaf Mbak kalau saya kurang sopan.” Zizi merendah dan mengulurkan tangannya.

“Senang berkenalan denganmu, mbak Zizi. Selamat ya atas pernikahannya. Mbak Zizi sungguh beruntung.” Senyum Vita tanpa memperlihatkan giginya.

“Sama-sama Mbak, ini belanja bareng Ibu, ya?”

“Iya Zi, kapan-kapan kita belanja bareng, ya. Oh ya, Vit kamu cepat antri sana! Ibu mau bicara sebentar sama Zizi.” Terdengar begitu akrab di telinga. Sementara Zizi sibuk berdoa menata hatinya, perasaan tidak nyaman menyeruak.

“Ngobrol apa tadi Zi?”

“Oh, ini kami bersaman mengambil mainan bebek tadi.”

“Kok bisa, selera kalian sama ya?” wajah bu Asma terheran kemudian tertawa lirih.

“Zi, gimana penampilan Vita?”

“Maaf, maksud Ibu busananya?

“Ah, bukan itu, kamu perhatikan nggak tadi cara bicaranya? Keluarganya sangat terpelajar, tidak heran kalau anaknya juga menurun.” Zizi masih tidak bersuara, tetapi hatinya bergemuruh.

“Zi, dia sangat mengagumi Ammar. Tetapi dia tidak marah mendengar Ammar memilih kamu. Lihat dia tetap ramah, kan tadi?” puji ibu Asma tanpa melihat ke arah Zizi.

Sesaat Zizi berhasil menahan apa yang dirasakan. Sampai ketika bu Asma membisikkan sesuatu di telingannya.

“Zi, ada sesuatu yang perlu kamu pahami.” Zizi berusaha mendengarkan baik-baik.

“Iya Ibu.”

“Vita berkata kalau dia siap menjadi yang kedua.” Zizi mematung dengan jantung seperti di pompa saja. Apa maksud ibu?

Jadi gadis yang dimaksud ibu dulu adalah Vita. Pantas saja keduanya sangat akrab. Dicobanya bersikap sewajarnya, menyadari Ammar baru calon imamnya. Tidak ada alasan untuk memihak. Dan diam adalah posisi yang aman.

“Satu lagi Zi, ibu minta sama kamu! Jangan ada keributan diacaramu besok. Paham, kan maksud ibu? Nanti bapaknya Ammar bisa jantungan.” Masih tetap dengan senyum yang terasa menghujam hati Zizi.

“Paham Ibu, semoga semuanya nanti lancar.” Zizi menahan embun yang hampir luruh.

“Ibu duluan ya! Vita sudah selesai itu. Kamu jaga diri ya! pengantin jangan sampai sakit. Bisa-bisa diganti nanti pengantinnya.”  Lagi-lagi Zizi cuma menarik bibirnya senatural mungkin. Pelukkan bu Asma terasa berbeda, bahkan lebih hangat pelukan bu Handayani.

*

Suara isak yang tertahan tidak terdengar. Zizi benar-benar menumpahkan yang menyekat tenggorokan. Berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Pernyataan calon mertuanya bukan angin lalu yang lewat begitu saja.

Sanggupkah melarang bunda hadir demi kekhawatiran ibu Ammar. Sebenarnya apa yang ada di hatinya? Jika tidak menerima kenapa beliau menyetujui? Apa yang harus aku lakukan? Batin Zizi gamang.

“Lihat wajah mbak, Zi! Sekarang mbak paham yang kamu rasakan. Kamu nggak boleh menyesali putusanmu. Yang menikah kamu dan Ammar. Kesungguhanmu akan meluluhkan ibunya Ammar. Dan itu tidak semudah yang kamu bayangkan.” Butiran bening itu deras menganak sungai, mata coklatnya diliputi  mendung kelabu. Zizi sungguh pada titik tak berdaya.

“Jika Ammar memang jodohmu, rintangan yang menghalang tidak akan memisahkan kalian. Ingat kisah nabi Adam dan ibu para ummat? Rasa yakin menguatkan semuanya Zi. Dan yakin itu bukan di pikiranmu tetapi di sini. Di hatimu.”

“ Zi hanya tidak mau semua ini akan menyebabkan kesalah pahaman dengan kak Ammar, dan akibatnya jelas kurang baik Mbak. Dan nggak mungkin cerita ke abang."

“Iya benar tapi kamu belum cerita ke Ammar masalah ini, kan?” Zizi menggeleng lemah.

“Bagus kalau begitu. Syukurlah kamu msih bisa nalar  Zi. Sekarang cobalah pejamkan matamu! Dengarkan hatimu, yang lekat kamu rasakan yang mana? Jangan lupa sambil berdoa adikku. Ayo lakukan dengan bismillah terlebih dulu!”

Tanpa menunggu lama Zizi melakukan petunjuk Jihan. Ingatannya kembali ke masa pondok. Cara ini dipakai untuk membantu santri agar kerasan di pondok. Zizi berusaha untuk mendengarkan suara hatinya, tetapi tetap saja tidak bisa! Dia membuang napas kasar.

“Masya Allah, tidak bisa, Zi tidak bisa mbak. Keduanya orang yang berharga dalam hidup  Zi.” Kini Zizi yang mencari hangatnya seorang ibu. Jihan begitu iba sambil mengusap kerudung lebar Zizi.

“Kamu lelah Zi, istirahatlah dulu! Mbak nggak izinkan kamu balik malam ini sendiri jika kamu kaya gini.”

“Iya Mbak,  Zi juga masih kangen sama Mbak. Semoga besok Zizi mendapat petunjuk yang terbaik. Aamiin.” Zizi melepas pelukannya.

“Menurut mbak, sebaiknya kamu kabari Tahmid. Dia pasti kebingungan mencarimu.”

“Baik Mbak, Zi ambil ponsel dulu.”

Meski belum terurai  yang mengganjal di hatinya, Zizi merasa lebih lega. Rasa lelahnya lebih menginginkannya untuk memeluk malam.

[Assalamulaikum, Zi ada di tempat yang aman. Butuh sesaat sendiri. Abang jangan khwatir. Pagi Zi pulang]

Pesan wa untuk Tahmid sudah terkirim, tetapi belum dibaca. Biarlah yang penting sudah terkirim. Zi menekan nomor Ammar, pesan padat ditulisnya.

[Assalamualaikum, Kak Ammar maaf baru wa. Zi di sini aman. Tolong jangan menghubungi. Terima kasih].

Senyum tipis membuat mata Zizi yang sembab terlihat menyempit. Hawanya semakin terasa dingin di daerah dekat pantai ketika malam merayap. Jihan merasa senang Zizi menginap. Itu artinya dia tidak sendiri. Sang suami melakukan dinas dan harus bermalam.

“Zi, ada mobil datang. Masa Mas Sadid sih?”

“Ada yang ketinggalan mungkin Mbak.”

“Mbak yakin sudah dibawa semua, tadi yang paking tangan mbak sendiri.”

“Zi yang buka pintunya Mbak, gimana? Baju mbak belum rapi gitu,” goda Zi lucu.

Suara ketokan pintu yang pelan menambah penasaran Jihan. Suaminya tidak pernah mengetok pintu seperti itu. Tanpa suara salam !

Terdengar pintu berderit  berpindah posisi, tetapi tidak terdengar tanda-tanda kedatangan seseorang dari ruang depan.

“Zi, siapa yang datang?” Jihan mencoba mencari tahu, tetap saja Zizi tidak menyahut. Dengan langkah curiga  Jihan mencari tahu apa yang terjadi.

“Zi, kenapa diam. Oh ... Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Jihan. Mata orientalnya semakin kentara menyipit!

Pantas Zizi terpana dengan mata nanar demi melihat siapa yang datang. Jihan tidak kalah terkejutnya dari Zizi. 

(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar