Seperti biasanya, setiap pagi Jeyya akan merengek pada kedua orang tuanya agar dibebaskan dari para bodyguardnya. Dia hanya ingin sekolah dengan bebas bukan harus di ikuti terus oleh orng-orang yang bertubuh kekar dan berwajah sangar. Jeyya tidak ingin disebut anak manja padahal dia saja bisa menjaga diri sendiri. Dia sudah besar dan ingin merasakan masa remajanya dengan bebas tidak dengan kekangan seperti ini.
“Tapi sayang, mama sama papa ngelakuin ini demi keselamatan kamu. Mama gak mau kamu kenapa-kenapa karena banyaknya musuh papa kamu.” Alasan yang masih sama terlontar dari mulut Naya sang mama. Sedangkan Faldi sang ayah hanya memanggu-manggutkan kepalanya.
“Tapikan ma, jeje udah kelas 12. Nyatanya selama 16 tahun Jeje hidup, jeje gak kenpa-kenapa sampe sekarang.” Keukeuh Jeyya. Dia tidak peduli sekarang sudah jam berapa dan dia akan kesiangan atau tidak. Dia sudah cukup sabar selama 6 tahun harus terus di ikuti oleh antek antek ayahnya. Memang, dia mengerti kedua orang tuanya amat mengkhawatirkannya. Tapi dengan begini justru Jeyya tidak bisa bersenang-senang dengan sahabtanya bahkan untuk sekedar nongkrongpun sangat sulit karena terus diawasi.
“Ini bukan waktu yang tepat buat papa bebasin kamu sayang. Justru semakin kamu dewasa semakin papa khawatir. Papa harap kamu bisa mengerti, Jeje adalah anak papa dan mama satu-satunya.” Luntur sudah keberanian Jeyya untuk terus memohon. Jika sudah berbicara seperti itu, Jeyya jadi sadar betapa sayangnya kedua orang tua Jeje terhadapnya. Selalu seperti itu.
“Yaudah Jeje berangkat, makasih selalu menghawatirkan jeje.” Ucap Jeyya memeluk kedua orang tuanya dan setelahnya menyalami tangan keduanya.
“Sama-sama sayang. Hati-hati”
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
*
"Pak Bim, Pak Tah, biarin Jeje sehari aja sekolah tanpa kalian yayaya." Mohon Jeyya pada kedua bodyguardnya. Tapi percuma saja, sememelas apapun Jeyya memohon, kedua bodyguartnya itu hanya akan mendengarkan perintah dari papanya dan akan tetap tidak peduli dengan permohonan Jeyya.
Karena takut malah kesiangan, akhirnya Jeyya mengalah lagi untuk kesekian kalinya. Dia cape terus diikuti kemana-mana. Waktu bermainnya jadi berkurang gara-gara telat sedikit saja orang tuanya akan terus menghubunginya untuk segera pulang.
Akhirnya Jeyya sampai disekolah dengan wajah yang ditekuk seperti biasanya. Meskipun begitu, justru wajahnya terkesan lucu dimata orang yang melihatnya. Bibir yang menghrucut, alis ditekuk, tangan yang melipat didada dan berjalan sangat tergesa.
"Kenapa deh Je? Kebiasaan datang-datang ditekuk gitu." Bukan sapaan yang Jeyya dapat dari sahabatnya itu. Justru malah teguran.
"Biasa." Jawab Jeyya sambil membanting tasnya ke meja dan diduduk dengan kasar.
"Sabar ya, gue tau om Faldi sama tante Naya cuma takut lo kenapa-napa." Sahut Fanya bijak.
"Tumben Fanya bijak, hahaha." Kata Tari
"Lo gak tau si." Fanya menyombongkan diri.
"Saking seringnya lo lemot, kita jadi gak percaya kalo lo sebijak ini." Celetuk Franka yang membuat sahabatnya tertawa.
"Tai lo semua." Fanya pura-pura merajuk.
"Ciee Fanya ngambek cieee." Goda Tari sambil menoel-noel lengan Fanya.
Belum sempat Fanya ingin membalas sahabatnya itu, bel tanda masuk mengharuskan semuanya kembali kebangku masing masing sebelum guru mata pelajaran masuk.
"Banguni gue kalo udah istirahat." Bisik Jeyya pada Franka selaku teman sebngkunya.
Franka hanya membukatkan jarinya sebagai tanda ok. Selalu saja begitu jika sudah masuk pelajaran Fisika. Entah kenapa Jeyya begitu membenci pelajaran itu, lebih tepatnya gurunya juga. Selain killer nyebelin juga.
Jeyya menelungkupkan wajahnya pada lipatan tangan, dia hanya merasa bosan saja dengan hidupnya. Selalu diatur-atur, dijaga kemana-mana, dan serasa dikekang oleh orang tuanya. Jeyya tau jika itu semu mereka lakukan karena menyayanginya. Tapi ini sedikit keterlaluan menurut Jeyya. Bahkan disekolahpun dia harus menyembunyikan identitas aslinya, karena jika tidak, akan banyak orang yang mengincarnya. Jeyya tidak masalah dengan itu, karena Jeyya lebih suka hidup sederhana meskipun kekayaan orang tuanya dimana-mana.
Ya, Jeyya terlahir dari keluarga yang kaya raya. Perusahaan papanya memiliki cabang diberbagai kota bahkan negara, dan itulah alasan kenapa Jeyya harus hidup dikawal para bodyguardnya agar Jeyya ada yang melindungi dari orang-orang yang membenci papanya.
Bel istirahay berbunyi nyaring menandakan bahwa sangguru harus menyudahi pembelajarannya dan membebaskan muridnya untuk mengisi perutnya yang telah berdemo sedari tadi.
"Je, Je, bangun." Tepukan halus dipipi gadis itu sukses membuatnya menggeliat kecil.
"Udah istirahat." lanjut Fanya.
"Oh yaudah, gue mau ketoilet dulu. Kalian langsung ke kantin aja ntar gue nyusul." Ucap Keyya setengah sadar.
"Yaudah kita duluan ya." Jawab Franka.
Jayya hanya mengangguk sebagai jawaban.
Setelah ketiga sahabatnya keluar dari kelas, Jeyya mulai bangkit dari duduknya dan berjalan menuju toilet.
'BUK'
Tiba-tiba dari arah berlawanan ada yang berlari dan alhasil menabraknya. Jeyya sungguh sial! pantatnya mencium mulus lantai marmer yang dingin. Jeyya sedikit meringis.
"Sorry, sorry, gue buru-buru." Baru saja Jeyya ingin mengomelinya, cowok yang menabraknya sudah berlali meninggalkannya tanpa dosa.
Kesal, dingkol, pengen marah. Itu yang sekarang Jeyya rasakan.
"Dasar cowok gak bertanggung jawab!" Teriak Jeyya kesal.
Akhirnya Jeyya melanjutkan langkahnya menuju toilet dengan langkah yang sedikit tertatih. Sakit dipantatnya mempengaruhi cara berjalannya. Setelah sampai ditoiket, jeya membasuh wajahnya dan berdiri didepan cermin.
Tatapannya kosong, entah apa yang dia pikirkan. Tapi setelahnya, Jeyya menggebrak sisi wastafel membuat kaget yang ada disana. Senyumnya terukir, otaknya kini berpikir.
"Sedikit jail sama pak Bim dan pak Tah seru kali ya," Bisiknya pada diri sendiri sambil cekikikan.
Entah apa yang sedang direncanakannya, karena semua sudah direncanakan rapi diotaknya. Lihat saja nanti, apa yang akan Jeyya lakukan. Setelah dirasa semua sudah selesai dengan urusan toiletnya, Jeya keluar dan berjalan menuju kantin menyusul sahabat-sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar