Adzan shubuh berkumandang, Silfyah melaksanakan sholat dengan khusyuknya, Hans terjaga dari tidurnya, ia menatap wanitanya yang tengah khusyuk melaksanakan kewajibannya, Hans menikmati setiap gerak-gerik Silfyah dalam sholat, mulai dari ruku', sujud, hingga tasyahud akhir.
Ada kedamaian menelusup dihatinya menyaksikan gadis belia itu berdzikir dengan khusyuk.
Selesai berdoa, Silfyah segera melepas mukenah pemberian Ilham, ia menatap pilu pada barang-barang pemberian kekasihnya.
Air matanya kembali berderaian, mengingat peristiwa kemarin saat melihat Ilham berjalan mesra dengan seorang wanita, bahkan sikap Ilham yang terasa menyakitkan.
Silfyah melempar mukenah pemberian Ilham dengan penuh kekesalan sembarang arah, tanpa sengaja mengenai wajah Hans yang barusaja keluar dari kamar mandi.
"Ada apa Fy?" tanya Hans sembari memegang mukenah tersebut.
Silfyah terdiam, ia hendak pergi, namun dengan cepat Hans menahan langkahnya, menarik tangannya, hingga tak sengaja tubuh Silfy tertarik mendekat tepat mengenai dadanya.
Kedua mata mereka saling bertemu, Hans menangkap kekecewaan yang begitu dalam dari mata gadis didepannya.
"Aku minta maaf Fy." ucap Hans pelan.
Silfy menarik tangannya dari genggaman Hans.
"Aku tahu apa yang kau rasakan Fy, karena aku juga merasakannya, kita sama-sama dicampakkan oleh orang yang kita cintai." ucap Hans kemudian
Silfy terkejut ia menautkan kedua alisnya, bagaimana bisa laki-laki yang dibencinya itu kini malah mencurahkan kegundahan hati padanya.
"Oh maaf, aku jadi terbawa suasana, Silfy, aku minta tolong, siang nanti kau ajak Tutik membeli beberapa pakaian, lalu kau antar dia pulang ke panti dijalan Manggar, nama pantinya "Nurul Azkiya', kamu mau kan?" tanya Hans memastikan.
Silfy hanya mengangguk pasrah, menuruti permintaan Hans, laki-laki itu meraih dompet kulit berwarna coklat dari saku celana, lalu mengeluarkan semua isinya.
"Ini uangnya Fy," ujar Hans seraya menyerahkan uang berwarna merah yang tak terhitung berapa jumlahnya.
Silfy menatap ragu
"Tenang saja Fy, ini bukan uang haram, ini uang halal, hasil dari aku jual motor kemarin, dan motor itu pemberian almarhum Ayah dulu." jelas Hans panjang lebar.
Silfy menerima uang tersebut, Hans tersenyum senang.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂
=====================================================================
Pagi hari setelah menikmati sarapan bersama-sama, Hans banyak mengahbiskan waktu berbincang-bincang dengan Tutik diruang tengah.
Silfyah menatap aneh, bagaimana bisa Hans tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengar kata-kata gadis bisu itu yang tak jelas apa maknanya.
Saat dimeja makan tadi, tak henti-hentinya Tutik terus berceloteh tak jelas, Hans menyimaknya dengan riang, mereka berdua seakan tak perduli dengan keberadaan Pak Rustam, Bu Yati, dan juga Silfy.
"Uh.. aa... A... Iii.." kata Tutik tak jelas sama sekali.
"Apa? Sebelum pulang, kamu minta Aku nyanyi?" tanya Hans seraya tertawa.
Tutik mengangguk dengan penuh semangat sembari bertepuk tangan.
"Baiklah, sebentar, aku ambil gitarku dulu." ujar Hans.
Laki-laki itu segera bangkit menuju sebuah kamar lantai atas, tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah gitar berwarna merah, lalu duduk disamping Tutik.
"Kamu mau aku nyanyi apa?" tanya Hans.
Tutik mengangkat kedua bahunya seakan memberi isyarat kata terserah pada Hans.
"Baiklah..." ucap Hans.
Silfyah masih memperhatikan mereka berdua dari ruang makan, Hans mulai memetik gitarnya memainkan sebuah nada, kemudian membawakan bait-bait sebuah lagu bergenre pop melayu.
"Menggigil tubuh ini melihat kau bersamanya,"
"Tergamam aku tak terkata, meraung dijiwa,"
"Puasku, pertahankan cinta kita sejak dulu,"
"Tapi sayang sikitpun tidak menghargai cintaku."
"Sia-sia saja pengorbanan dan kesetiaanku ini"
"Ku sangka kau permata rupanya duri paling berbisa."
"Ku pasrah dan berdoa semoga tabah jiwaku."
"Oh tetapi bagaimana nak ku lawan jiwa yang siksa."
Hans membawakannya dengan penuh penghayatan, mewakili rasa hatinya, tak sadarz Silfyah menikmati suara merdu suaminya, bait-bait kalimat yang dibawakannya menyesakkan dada, ia turut merasakan apa yang diungkapkan dari lagu berjudul Meraung tersebut.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Ilham tengah sibuk mengetik, ada beberapa laporan yang harus segera ia siapkan, seorang wanita datang menghampirinya.
"Ham, makan siang yuk?" ajak Fitri.
"Ma kasih Fit, aku belum lapar." tolak Ilham.
"Ham, kerja sih boleh tapi kamu juga harus jaga kesehatan." nasihat Fitri.
Ilham tersenyum, "Iya, terima kasih, tapi pekerjaanku masih banyak."
Fitri meninggalkan laki-laki yang telah memberinya pekerjaan dikantor tersebut. Ia terus melangkah menuruni anak-anak tangga hendak menuju sebuah resto yang berada diseberang kantor tempat ia bekerja.
Fitri menanti pesananannya sembari memainkan ponselnya, ia teringat kembali akan awal mula ia mulai dekat dengan Ilham.
Beberapa waktu lalu, mereka tak sengaja berjumpa saat Fitri baru saja keluar dari lobby hotel usai melayani salah seorang pria yamg membokingnya.
Siang itu Fitri berjalan terburu-buru hingga tak sengaja ia menabrak Ilham yang hendak masuk kedalam hotel hendak menggelar rapat dengan beberapa kolega perusahaan tempat ia bekerja di ballroom hotel tersebut.
"Maaf Mas, saya tak sengaja." ucap Fitri.
Beberapa hari setelah itu, ia kembali berjumpa dengan Ilham, lelaki itu tiba-tiba sengaja mengajaknya berjumpa, memintanya meninggalkan dunia kelam, bekerja dikantornya, karena membutuhkan seorang sekretaris.
Ilham tak pelit ilmu, ia mengajarkan banyak hal kepada dirinya.
Gadis berambut panjang bergelombang itu tersenyum sendiri, entah apa yang ia rasakan, tiba-tiba saja ia merasa nyaman tiap kali dekat dengan Ilham.
"Pesanannya Mbak." ucap salah seorang pelayan resto
"Oh iya, terima kasih ya." sambut Fitri.
Usai membayar pesanannya, Fitri segera mempercepat langkahnya kembali ke kantor, ia segera menjumpai Ilham yang masih sibuk bekerja.
"Ham, makan dulu yuk?!" ajak Fitri sembari meletakkan satu kotak nasi padang.
"Repot-repot sih Fit? Ma kasih ya." ucap Ilham.
"Udah, ayo makan dulu, kalau enggak entar aku suapin loh ya?" ancam Fitri.
Ilham tersenyum, " Tidak, tidak, usah, aku bisa makan sendiri." tolak Ilham cepat.
Fitri tersenyum menggoda, Ilham segera menundukkan pandangannya.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Silfyah tengah menyimak acara pengajian yang diselenggarakan oleh masjid yang berada tak jauh dari rumah barunya, Bu Nyai Ucik Nur Hidayati yang merupakan salah seorang Muballighoh ternama memberikan banyak nasihat bagaimana menjalani peran sebagai seorang istri dalam kehidupan rumah tangga.
"Betulkah kita ini wanita sholihah sebagai pendamping suami? Karena zaman sekarang ini banyak sekali wanita-wanita, atau istri-istri yang suka mengeluh, Aku sak iki iki rasane koyok didadikno budak karo bojhoku, loro atiku, tapi jenenge wong wedhok aku yo meneng ae demi kebahagiaane kabeh. Kan begitu?"
"Lha itu artinya kita tidak bahagia, menjadi pendamping suami, tapi hati tidak ikhlas. Memang ujian dalam rumah tangga itu bermacam-macam, adakala kita diuji dengan mertua, adakala diuji dengan anak, adakala diiji dengan ekonomi dan adakala diuji dengan suami. Ada sikap-sikap suami atau sifat-sifatnya yang tidak berkenan dihati, lha justru disinilah nilai perjuangan dan pengabdian kita sebagai seorang istri."
"Teruslah memohon kepada Allah, mintakan doakan, bacakan Surat Fatihah khusus untuk suami, jenengan nangis, jenengan nyuwun dumateng Allah, minta agar suami mendapat hidayah, mendapat petunjuk, dilembutkan hatinya sehingga dia bisa berubah menjadi lebih baik lagi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar