Rumah berapagar tembok putih yang berdiri kokoh seakan menampakkan keangkuhan didalamnya, tak ada sedikitpun ruang yang dipenuhi senyum apalagi cinta didalamnya.
Jutaan luka, air mata, kesedihan dan kemarahan memenuhi setiap sudut ruang didalamnya.
Pak Rustam dan Bu Yati benar-benar naik pitam, tak menyangka putrinya akan menunjukkan sikap yang membuatnya malu didepan banyak orang.
Pak Rustam menampar dengan keras pipi Silfyah putrinya, wajahnya merah padam penuh amarah yang menyala-nyala.
"Kurang ajar! Anak tak tahu diuntung!" bentak Pak Rustam.
Silfyah hanya bisa pasrah sembari memegangi pipinya yang merah menampakkan guratan lukisan bekas tangan Pak Rustam.
"Bapak tak pernah mendidikmu menjadi anak durhaka, apalagi istri durhaka!" marah Pak Rustam.
Bu Yati menarik lengan putrinya dengan kasar.
"Dengar Silfy, jika Hans sampai benar-benar menceraikanmu karena ini semua, maka detik itu jangan pernah anggap aku sebagai wanita yang melahirkanmu!" ucap Bu Yati tak kuasa menahan amarah.
Wanita paruh baya itu mendorong putrinya dengan kasar, hingga Silfyah tersungkur dilantai.
"Jika Hans datang, segera minta maaf padanya! Jika tidak, Bapak sendiri yang akan penggal kepalamu didepannya!" ancam Pak Rustam.
"Kenapa Bapak dan Ibu tidak pernah memimirkan Silfy?" teriak Silfyah lantang.
"Bapak dan Ibu tega menjual Silfy, menukar kebahagiaan Silfy dengan limpahan harta!" lanjut Silfyah sembari menangis.
Pak Rustam semakin geram, ia kembali mengangkat tangan hendak menampar lagi, namun Bu Yati buru-buru menahannya.
"Pak, sudah Pak! Ingat Silfy itu anak kita, tubuhnya begitu lemah, bisa mati nanti dia kalau kau pukul terus!" cegah Bu Yati.
Pak Rustam menurunkan tangannya dengan kesal.
=====================================================================
"Sekarang katakan apa kekurangan Hans? Baik, dia memang pemabuk, kelakuan dia diluar memang buruk, Jangan buta Silfy, lihatlah sisi lain dari dirinya, apakah kamu pernah melihatnya bersikap buruk kepada Bapak dan Ibu?" tanya Bu Yati.
Silfyah terdiam, ia enggan melihat sisi baik Hans, baginya laki-laki itu buruk, sangatlah buruk, tak ada satu pun sisi baik, karena kebencian terlanjur merajai hatinya.
"Apakah Hans pernah memukulmu? Memarahimu? Menyiksamu? Apakah dia pernah bersikap kurang ajar pada Bapak dan Ibu? Apa dia menjadikan Bapak dan Ibu yang miskin ini seperti pembantu dirumah ini, karena dialah raja dirumah ini, apa pernah Fy? Justru Hans memperlakukan kami seperti Bapak ibunya sendiri." tegas Bu Yati mencoba menyadarkan Silfy akan kebaikan-kebaikan Hans.
"Rumah Bapak yang disana dikampung itu, sekarang tengah dibongkar dan direnovasi, ia berencana menjadikannya rumah kontrakan yang mana uang hasil kontrakannya bisa Bapak dan ibu nikmati, bengkel Bapakmu sekarang juga makin ramai, ia mempekerjakan rekan-rekannya yang memang ahli pada bidang tersebut agar Bapak bisa punya uang, tak lagi susah bekerja, hanya tinggal menikmati hasil." jelas Bu Yati panjang lebar.
"Bertahun-tahun kita hidup susah, hidup dalam garis kemiskinan, dililit banyak hutang, susah payah cari makan, sampai kaupun harus putis sekolah, demi membantu kami mencari nafkah."
"Sekarang kamu malah tega mengungkapkan segala kebencian dengan mempermalukan suamimu sendiri didepan banyak orang." ucap Pak Rustam.
"Apa kamu lupa bagaimana perlakuan Bapak selama ini Fy? Tapi apa pernah kamu melihat ibu mempermalukannya? Mencaci maki Bapakmu didepan banyak orang? Apa pernah Fy?" tanya Bu Yati dengan nada menekan.
Silfyah menggeleng, ia menahan segala kecamuk didada antara marah, benci, kecewa, sedih dan sesal.
"Ingat Fy, seburuk-buruk suami, mereka tetaplah belahan jiwa kita, pakaian kita, Imam kita, apapun dan bagaimanapun, kita harua bisa menyimpan rapat-rapat aibnya, jika memang kau baik, kenapa tak kau doakan Hans agar berubah menjadi baik, atau kau cari cara, cari usaha, agar Hans menjadi seperti apa yang kau inginkan, bukan malah mengobral segala aibnya, meski pada kenyataannya Hans seorang bajingan, tapi kau tetap berdosa besar karena tak bisa jaga lisan." nasihat Bu Yati.
Pak Rustam hanya menyimak ucapan istrinya, ia terdiam merenungi kalimat yang keluar dari lisan wanita yang sudah dua puluh lima tahun menemani hidupnya dengan sabar.
"Apalagi yang kau harapkan dari Ilham? Kau lihat sendiri kan? Dia tidak membelamu sedikitpun, terimalah takdirmu Silfy, Hans adalah jodohmu." tegas Bu Yati sembari melangkah pergi meniti anak-anak tangga menuju kamar.
Langkahnya disusul oleh Pak Rustam, melewati Silfyah yang duduk bersimpuh sembari terus menangisi nasib.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Hans kembali meneguk minuman keras, menumpahkan segala kegalauan hati, cacian Silfy kepadanya begitu menyakitkan, ia tak pernah menyangka gadis lugu itu akan bersikap sedemikian berani kepadanya.
Bayang-bayang masa lalu, kebahagiaan bersama Ayah Ibu, kisah cinta bersama Fitri hingga kesialan-kesialan yang menerpa hidupnya terus berkelebat dibenaknya.
Hans berjalan sempoyongan sembari memegang botol minuman keras, ia tak lagi perduli dengan pandangan orang-orang yang baru keluar dari masjid terus menatapnya.
Hingga Hans melihat seorang anak kecil yang berlarian bersama kawan-kawan sebayanya tepat dihadapannya.
Kenangan indah dimasa lalu menyeruak dalam ingatnnya.
Dua puluh lima tahun silam, Pak Sugiono sengaja datang menjemputnya di mushollah tempat ia mengaji.
Hanif kecil berlarian segera melompat dan menghambur dalam pelukan hangat laki-laki yang baru saja turun dari mobil dengan pakaian yang mulai lecek menandakan ia baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja sebagai konsultan, laki-laki itu adalah Bapak Sugiono ayahnya.
"Masya Allah, pinternya anak Ayah." puji Pak Sugiono.
"Ayah, Hanif sudah sampai juz tiga sekarang" jelas Hanif.
"Masya Allah, Alhamdulillah, anak Ayah memang anak yang pintar dan sholih, nanti kalau besar, Hanif mau jadi apa?" tanya Pak Sugiono dengan bangganya.
"Hanif mau jadi Ustadz Ayah, mengajak pemuda-pemuda kampung untuk rajin ngaji, selalu ingat sama Allah." jawab Hanif ceria.
"Ya Allah, mulia sekali itu sayang, baik, nanti kalau sudah lulus sekolah, Hanif mau kan masuk pesantren?" tanya Pak Sugiono.
"Mau sekali Ayah, Hanif ingin mengalungkan mahkota untuk Ayah dan Ibu, Hanif juga mau menjadi anak yang menarik tangan Ayah dan Ibu menuju Surga." tutur Hanif.
Pak Sugiono tak kuasa menahan haru, ia pun segera memeluk putra semata wayangnya yang begitu ia banggakan.
Dada Hans terasa sesak, air matanya kian deras mengenang masa lalu yang penuh kebahagiaan.
Hans melempar botol minumannya dengan keras kedalam tempat sampah, ia terus melangkah, tak lagi memperdulikan keadaan sekitar, hingga matanya menyipit, sorotan lampu sebuah mobil pickup yang melintas tepat dihadapannya membuatnya silau.
Sebuah teriakan keras dari seorang wanita terdengar nyaring ditelingannya.
Hans ambruk ditengah jalan, orang-orang segera berlari mendekati tubuhnya yang tergeletak tak berdaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar