Hanif memeluk Silfy sembari membelai lembut puncak kepalanya.
"Fy."
"Iya Mas?"
Hanif tertawa, "Kamu ini kok lucu sih? Kadang panggil Mas, kadang panggil Abang."
Silfy tersenyum, "Kalau lagi sayang Silfy panggil Mas, kalau lagi marah panggil Abang." jawabnya.
Hanif tergelak setelah mendengar penjelasan istrinya.
"Oh iya sayang, nanti malam kita temui Ilham yuk?!"
"Mau ngapain lagi Mas?"
"Aku mau jelasin ke dia kalau aku nggak mau pisah sama kamu sayang." tegas Hanif.
"Mas Hanif sendiri saja, ngapain ajak-ajak Silfy?" tolak Silfy
"Biar makin meyakinkan, kamu juga bilang ke dia kalau kamu juga nggak mau pisah sama aku, kalau aku berangkat sendiri, Ilham nanti nggak percaya, dia fikir aku yang mengada-ada Fy." jelas Hanif panjang lebar.
"Ya udah kalau maunya Mas Hanif begitu, udah ah Silfy mau mandi dulu."
"Kok buru-buru sih, diluar masih hujan, nggak takut dingin?" goda Hanif
"Ini udah siang Mas, udah waktunya masak buat makan siang juga."
"Masih ada satu jam lagi sayang."
"Nanti Ibu marah Mas kalau Silfy nggak bantuin."
"Nggak mungkin, nanti biar aku yang bilang kalau kamu lagi capek habis buatin cucu." goda Hanif lagi.
Satu cubitan mendarat di pinggang laki-laki yang berwajah sendu tersebut.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Sore hari, Hanif mengajak Silfy berziarah ke makam kedua orang tuanya, yang berada di TPU Segok, Hanif menaburkan bunga mawar segar keatas pusara Ayah dan Ibunya.
"Ayah Ibu maafkan Hanif, karena selama ini Hanif telah menjadi anak yang durhaka, Janif janji, Hanif akan menjadi anak yang baik sesuai janji Hanif kepada Ayah dan Ibu." ucap Hanif.
Silfy mengusap lembut punggung suaminya, ia turut merasakan kesedihan yang Hanif rasakan,
Setelah dari makam, Hanif menemui Ilham bersama Silfy, Ilham sempat terkejut saat melihat Silfy turut hadir, ia begitu merindukan gadis yang telah lama diimpikannya, Ilham merasa bahwa Silfy pasti merasakan hal yang sama.
"Jadi bagaimana Hans? Aku sudah berhasil membuat kekasihmu berubah."
Hanif dan Silfy saling berpandangan, sedang tangan Silfy semakin erat menggenggam jari-jemarinya.
"Aku minta maaf Ham, Aku tak bisa berpisah dengan Silfy, Aku mencintainya Ham." jawab Hanif.
Ilham terkejut bukan main, ia merasa telah dipermainkan.
"Apa? Tidak tidak mungkin, apa-apaan ini Hans? Bukankah kau sendiri yang berjanji bahwa kau akan segera meninggalkan Silfy?"
"Aku minta maaf Ham, itu semua ku katakan ketika aku hampir putus asa mengejar Fitri yang tak pernah ada untukku, belum lagi, saat itu Silfy juga membenciku, namun seiring dengan berjalannya waktu, Aku sadar, Aku mulai mencintai istriku, dan pernikahan kami bukanlah permainan."
Ilham tersenyum kecut, "Aku sudah menduga ini pasti akan terjadi." ucap Ilham
"Maafkan Silfy Mas, Kisah kita adalah masa lalu, sekarang Silfy mencintai Mas Hanif, terlebih sejak Mas Hanif berubah menjadi lebih baik, Silfy tak mau berpisah dengannya Mas." tutur Silfy.
"Aku hargai keputusanmu Dik, itu hakmu, Hans bukanlah orang lain, dia adalah suamimu, satu pintaku, hargailah suamimu bagaimanapun keadaannya." ucap Ilham bijak.
"Terima kasih Mas karena Mas Ilham mau mengerti, Semoga Mas Ilham segera dipertemukan dengan gadis yang sholihah." ucap Silfy.
"Aamiin, terima kasih atas doamu Fy."
Ilham segera pergi meninggalkan sepasang suami istri yang tengah berbahagia.
"Jujur, hatiku terasa sakit Fy, tapi aku sadar, cinta tak harus memiliki, asal kau bahagia maka aku juga bahagia." ucap Ilham lirih sembari memgusap air matanya.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Hanif berjalan diantara hamparan tamannyang begitu indah, berbagai macam bunga terlihat begitu segar, harum semerbak, samar-samar ia melihat Ayah Ibunya tengah bersenda gurau, kemudian memanggilnya.
"Hanif, sini Nak?" panggil Bu Nanik.
Hanif segera menghambur dalam pelukan ibunya, ia begitu merindukan ibunya,
"Ibu maafkan Hanif."
"Iya Nak, ibu sudah memaafkanmu." ucap Bu Nanik.
Hanif segera bangun dari mimpinya, nafasnya tersengal-sengal, ia mengusap wajah dengan kedua tangannya.
"Ya Allah, Ibu, Hanif rindu." ucap Hanif.
Diliriknya wajah teduh sang istri yang tengah terlelap dalam mimpi indahnya. Hanif tersenyum.
"Terima kasih sayang karena kau telah hadir mewarnai hidupku yang kelam." ucap Hanif lirih.
Hanif segera bangkit, jam dinding telah menunjukkan pukul tiga dinihari, Hanif berniat untuk pergi ke masjid, mendekatkan diri kepada Allah, melaksanakakn Qiyamul Lail.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar