Malam yang cerah, Purnama menyiratkan bias cahaya dengan sempurna, bintang-bintang berkilauan menghiasi awan yang gelap.
Silfiyah tak henti mengurai senyum bahagia mengingat peristiwa sandal jepit beberapa menit lalu.
Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka dengan keras, Pak Rustam pulang dengan marah-marah, ia barusaja kalah berjudi.
"Brengsek! Sial! Kenapa juga aku musti kalah lagi?" ucap Pak Rustam lantang
Silfiyah segera keluar dari kamarnya
"Bapak?" panggil Silfiyah
"Ayo sini? Kamu pasti punya uang kan?" pinta Pak Rustam.
"Maaf Pak, Silfi lagi nggaka ada uang," jawab Silfiyah
Satu tamparan keras mendarat dipipinya hingga Silfiyah jatuh tersungkur, air matanya berderaian, pipinya terasa panas.
"Goblok! Anak nggak tahu diuntung! Percuma aku besarkan kamu, mana hasilnya kamu kerja? Harusnya kamu bantuin orang tua cari uang!" Bentak Pak Rustam.
Mendengar suara gaduh, Bu Yati buru-buru keluar dari dapur berlari menuju ruang tengah,
"Ya Allah Silfi" seru Bu Yati.
Wanita berusia setengah abad itu segera memeluk putri semata wayangnya.
"Ayo Bu, sini Bu, kemana uangmu?" tanya Pak Rustam suaminya.
"Sudah Pak! Cukup Pak! Susah payah kami cari uang untuk menyambung hidup, tapi kau malah habiskan untuk berjudi!" ucap Bu Yati lantang.
Tiba-tiba datang seorang pemuda bertubuh kekar, mengenakan celana jeans hitam dan jaket kulit.
"Assalamu'alaikum" ucap pemuda tersebut.
"Wa'alaikumsalam, Hans" jawab Pak Rustam dengan suara bergetar.
Hans mendekat, ia menatap dua orang wanita yang tengah bersimpuh dihadapan Pak Rustam, matanya berbinar seketika kala melihat wajah cantik Silfiyah yang tengah menangis.
"Ma... Maaf Nak Hans, Bapak belum punya uang buat bayar hutang-hutang Bapak, nanti dulu ya, ka... kalau Bapak sudah punya uang, pasti Bapak bayar semuanya." jelas Pak Rustam tergagap.
"Maaf Pak, tapi hutang Bapak sudah terlalu banyak" jawab Hans.
"Tolong, tolong Nak, beri Bapak waktu, Bapak janji akan segera lunasi semuanya." ucap Pak Rustam terus memohon
Hans terus memperhatikan Silfiyah,
=====================================================================
"Dia siapa Pak?" tanya Hans kemudian
"Oh, ini Silfy, putri Bapak." jawab Pak Rustam.
Hans tersenyum menyeringai, " Hmm... Cantik juga anakmu Pak." ujar Hans memuji.
Pak Rustam menunduk, Silfy menatap sekilas wajah lelaki yang tengah menagih hutang kepada Bapaknya, tak lama ia segera membuang muka.
"Baiklah, akan saya beri waktu selama dua minggu, jika sampai dua minggu kemudian, Bapak tak mampu bayar, saya akan ambil rumah ini." ancam Hans.
"Iya Nak, iya, baik, terima kasih atas perpanjangan waktunya." jawab Pak Rustam.
"Baik, kalau begitu saya pergi dulu, Assalamu'alaikum." pamit Hans.
"Wa'alaikumsalam." jawab Pak Rustam
Hans segera menaiki motor gedenya yang diparkir depan rumah Pak Rustam.
"Bapak punya hutang apa Pak sama pemuda itu?" tanya Bu Yati.
" Nggak usah tanya-tanya, ini semua gara-gara kalian karena tak pernah mau berbagi uang denganku, jadi terpaksa aku pinjam uang sama Nak Hans buat judi." seru Pak Rustam
"Astaghfirullah Pak." ucap Bu Yati,
Ia pun menangis, sembari memeluk putrinya,
"Hahhhhh! Kalian bisanya nangis-nangis saja, bikin pusing!" teriak Pak Rustam
Ia segera pergi keluar rumah sembari membanting pintu dengan kasar.
🥀🥀🥀🥀🥀🥀
Jum'at pagi yang cerah, Ilham datang berkunjung kerumah Bapak Rustam, ia ingin mengkhitbah Silfyah, wanita yang telah lama ditaksirnya.
"Ada apa kau datang kemari?" tanya Pak Rustam sinis
Ia terus mengamati penampilan Ilham yang begitu sederhana mengenakan baju koko putih, dan sarung motif kotak-kotak, serta peci hitam, ia duduk dengan tubuh agak membungkuk dihadapan calon mertuanya.
Tak lama kemudian Silfiyah keluar membawa nampan dengan secangkir teh hangat diatasnya dan juga sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asapnya.
Ilham melirik barang sebentar, kemudian kembali menundukkan pandangannya.
Silfiyah segera kembali kedalam kamar, ia sengaja menguping pembicaraan dua laki-laki yang berada diruang depan dengan jantung berdebar-debar.
"Mohon maaf sebelumnya Bapak, maksud dan tujuan saya datang kemari tidak lain ingin melamar Dik Silfi, saya ingin menyempurnakan ibadah dengan menikahi Dik Silfi." ujar Ilham dengan berdebar-debar.
"Apa? Jadi kamu mau melamar anak saya?" tanya Pak Rustam terkejut.
"Iya Bapak." jawab Ilham.
"Apa pekerjaanmu? Sampai kau berani melamar putri saya?" tanya Pak Rustam sinis.
"Saya belum memiliki pekerjaan tetap Bapak, hanya sebagai guru ngaji saja." jawab Ilham
"Apa? Guru ngaji? Kamu mau kasih anak saya makan apa jika cuma jadi guru ngaji?" tanya Pak Rustam dengan nada menghina
"Insya'Allah saya akan segera mencari pekerjaan tetap Bapak." jawab Ilham
"Nggak, nggak bisa, lamaran kamu saya tolak!" tegas Pak Rustam
Ilham menatap laki-laki berusia 55 tahun dihadapannya dengan tatapan terkejut, tak hanya dirinya, begitu juga Silfiyah didalam kamar, ia benar-benar terkejut mendengar penolakan Bapaknya.
"Kerja yang mapan dulu sampai punya banyak uang, baru kamu datang kemari lamar anak saya, kerja masih nggak jelas sok-sokan berani lamar anak saya, sudah pergi sana! Buang-buang waktu saya saja." usir Pak Rustam.
Ilham menunduk, wajahnya merah padam menahan malu, hatinya terluka akan penolakan Pak Rustam.
"Baik, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan saya, terima kasih karena Bapak sudah mau meluangkan waktu untuk saya, saya mohon undur diri dulu Bapak." ucap Ilham dengan nada suara bergetar.
Pak Rustam bergeming, Ilham meraih tangannya lalu mencium punggung tangannya, kemudian segera pergi tanpa meminum sedikitpun teh yang dibuat oleh Silfyah yang mulai dingin.
"Assalamu'alaikum." ucap Ilham
"Wa'alaikumsalam." jawab Pak Rustam ketus.
Didalam kamar tangis Silfiyah pecah, ia benar-benar kecewa, malu, sedih, karena sikap Bapaknya terhadap Ilham.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar